Pada jaman Madya Kebudayaan Indonesia tidak hanya
dipengaruhi oleh agama Islam melainkan juga agama Kristen (Katolik dan
Protestan), lain hanya di Bali yang memang bertahan dengan agama yang lama.
Namun pada kenyataannya, yang memberi corak khusus dan perkembangannya mengubah
Kebudayaan Indonesia hanyalah pengaruh-pengaruh dari agama Islam. Agama Kristen
pengaruhnya hanya lapangan agama dan hidup keagamaan dan tidak menghasilkan
ciptaan-ciptaan yang memberi ciri tertentu kepada Kebudayaan Indonesia jaman
Madya. Lain juga dengan agama Hindu/Budha pada jaman Purba menentukan corak dan
sifat kebudayaan Indonesia dan berlangsung di Bali menghadapi desakan agama
Islam, dalam jaman madya perannya yaitu pembentukan kebudayaan baru yang tumbuh
dan berkembang karena pengaruh Islam. Berbeda dari agama Kristen dan agama lama
di Bali, Islam lebih besar dan meluas pengaruhnya atas hidup dan alam pikiran
bangsa Indonesia seumumnya. Adapun hasil-hasil kebudayaan yang di tandai jaman
madya yaitu :
1. Masjid
Masjid merupakan tempat sujud atau tempat orang
bersembahyang menurut peraturan Islam, dalam hadits yakni setiap jengkal tanah
di atas permukaan bumi yang merupakan tempat sembahyang lima waktu atau salat
al-jum’ah. Ada berbagai hal dari masjid-masjid di indonesia jaman madya yakni
atapnya yang melingkupi ruang bujur sangkar, kubah sebagai .atap masjid menjadi
ciri seni bangunan Islam. Tidak adanya menara, tempat muaddzin menyerukan adzan
untuk melakukan salat dengan dilakukan pemukulan bedug atau tabuh terlebih
dahulu. Hal yang menarik perhatian yakni mengenai letaknya dari masjid-masjid
itu biasanya dekat dengan istana karena masjid sebagai tempat bersatunya raja
dengan rakyatnya sebagai makhluk Ilahi karena masjid juga tempat yang suci.
Halaman masjid biasanya dipenuhi dengan kuburan-kuburan yang nyata berasal dari
jaman kemudian.
2. Makam
Menurut
peraturan Islam, jika seseorang meninggal (kecuali mati syahid), mayatnya
dimandikan agar bersih kemudian dibungkus dengan kafan yaitu kain putih yang
tidak dijahit. Di dalam kubur mayat itu diletakkan membujur Utara-Selatan dan
miring ke kanan, agar mukanya menghadap ke Barat (kiblat). Pada hari-hari ke-3
ke-7 ke-40 ke-100 dan ke-1000 sesudah meninggalnya seseorang diadakan selamatan
dimaksudnya sebagai pengantar rokhnya ke hadirat Ilahi. Selamatan-selamatan
seperti ini unsur dari jaman purba yang hidup terus sesuai dengan Craddha sampai
hari ke-1000 adalah upacara terakhir. Pada umumnya pemakaman letaknya di atas
lereng sebuah bukit, tetapi banyak pula yang di tanah di datar saja. Contoh
makam yang tertua berasal dari jaman Majapahit (Troloyo, Pase dan Makam Maulana
Malik Ibrahim) tidak menunjukan cara pembagian halaman dan juga tidak diberi
cungkub. Mungkin unsur jaman purba itu hanya hidup berkenaan dengan candi
sedangkan dalam jaman madya makam itu menggantikan kedudukan candi. Mengenai
makam-makam tua yang semuanya berasal dari jaman purba. Makam jaman purba yang
diberi cungkub ialah makam Fatimah binti Maimun di Leran (tahun 1082) sebagai
makam putri suwari atau Puteri Cempa. Cungkup-cungkup dalam jaman madya ada
yang runcing dan ada pula yang memakai bubungan, yang beratap runcing itu
dianggap paling tinggi atau suci, sedangkan yang memakai bubungan biasanya
mengatapi sebuah bangsal yang terdapat banyak makam-makam berderet. Kunjungan
ke makam itu dikenal dalam agama Islam sebagai “Ziarah” di Indonesia ziarah
artinya kunjungan sesuatu makam atau sudah ada yang sejalan terlebih dulu
dengan kebiasaan mengunjungi candi atau tempat suci dengan maksud melakukan
pemujaan roh atau nenek moyang.
3. Seni
Ukir
Dalam agama Islam larangan untuk melukiskan sesuatu
makhluk hidup, apalagi manusia. Seni pahat patung yang semikian majunya di
dalam jaman purba tidak mendapatkan sama sekali dalam jama madya (kecuali di
Bali). Dalam jama madya kepandaian-kepandaian pahat-memahat menjadi terbatas
kepada seni ukir hias saja. Seni hias mengambil pola-polanya dari jaman purba
yang terdiri dari daun-daunan, bunga-bungaan (teratai), bukit-bukit,
pemandangan, dan garis-garis geometri. Contohnya di Troloyo, Sulawesi Selatan
dan beberapa tempat lain batu-batu nisan menjadi hasil kesenian tersendiri
karena bentuknua maupun karena ukirannya. Corak dan pola-pola hiasan pada
gapura Sendangduwur memiliki banyak persamaanya dengan gapura-gapura di ujung
Selatan pulau Bali yaitu pada pura Ulu Watu dan Pura Sakena (di pulau Serangan)
yang berasal dari jaman madya.
4. Kesusasteraan
Kesusasteraan jaman madya berkembang di daerah
sekitar Selat Malaka dan di Jawa, melayu sebagai pertumbuhan baru dan di Jawa
sebagai perkembangan lebih lanjut dari kesusasteraan jaman purba. Kesusasteraan
jaman madya kebanyakan hasil-hasil karya yang sampainya kepada masyarakat yang
sekarang bentuknya yang baru yaitu dudah dirubah bahasa serta susunannya dan
menjadi gubahan baru. Dengan demikian kesusasteraan madya tidak dapat kita
turutkan kepada perjalanan sejarah. Mengenai corak dan isi, pertama pembagian
berdasarkan sumbernya yang memberi bahan sesuai dengan jamannya, maka yang
menandai hasil-hasil kesusasteraan jaman madya itu adalah pengaruh Islam.
Terutama cerita-cerita dari Persia besar sekali pengaruhnya, bahkan menjadi
sumber utama. Tidak ada bedanya dengan hasil kebudayaan lainnya, bahan-bahan
dari jaman purba, sebagai lanjutan dari seni sastra jaman purba yang berkembang
di Jawa. Gubahan-gubahan baru dari Mahabharata, Ramayana dan Pancatantra
menjadikan antara lain: Hikayat Pandawa lima, hikayat Perang Pandawa Jawa,
Hikayat Seni Rama, Hikayat Maharaja Rawana, Hikayyat Panjatanderan, dsb. Khusus
di Jawa terdapat : Bratayuda, Serat Rama, Arjuna Sasrabahu, dsb. Satu sumber
jaman purba lagi cerita “Panji” yang berasal dari Jawa dan tersebar ke seluruh
Asia Tenggara. Dalam kesusasteraan jaman madya di daerah Melayu, dikenal:
Sya’ir Ken Tambuhan, Lelakon Mesa Kumetir, Sya’ir Panji, Hikayat, Carita Wayang
Kinudang, Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Cekel Waneng Pati, Hikayat Wila
Kusuma dan Banyak lagi lainnya. Hikayat-hikayat semuanya tertulis dalam bentuk
gancaran sedangkan dari hikayat yang sama tapi diubah dalam bentuk tembang
tidak dinamakan “hikayat” melainkan “syair.
v Suluk
Satu jenis kesusasteraan jaman madya yang terdiri
sifatnya adalah disebut suluk, yaitu
kitab-kitab yang membentangkan soal-soal tasawwul. Mengenai kitab-kitab suluk
di Jawa ada beberapa yang dari bahasa dan susunannya terang harus berasal dari
abad ke-16 sedangkan dari Sumatra dikenal berbagai Syair tidak berjudul tetapi diketahui penulisnya yaitu Hamzah
Pansuri dari Barus (seorang wali sekitar tahun 1600 M). Contoh dari kitab suluk
yakni suluk sukarsa isinya tentang seseorang (ki Sukarsa) yang mencari ilmu
sejati untuk mendapat kesempurnaan.
v Hikayat
Sejumlah hikayat yaitu bahannya diambil dari
Mahabharata, Ramayana dan Pancatantra, dan yang pokok ceritanya sudah diketahui
dari jilid II. Sejumlah lalin lagi cukup kita ketahui cerita aslinya saja.
Artinya cerita yang lengkap dan nantinya dipecah-pecah menjadi banyak sekali
cerita tersendiri “cerita karangan”. Cerita yang meriwayatkan Panji Inu
Kertapati, Amir Hamzah dan Bayan Budiman. Dari beberapa contoh cerita panji,
berasal dari akhir jaman Majapahit dan dari sini tersebar ke Bali, Lombok,
Sulawesi, Kalimantan, Malaysia, Thailand dan Kamboja yang menarik perhatian
adalah persamaannya antara naskah Bali dengan naskah melayu. Pokok ceritanya
yakni di Jawa ada 4 kerajaan Kuripan (Jenggala) Daha (Kediri), Gegelang dan
Singasari yang rajai oleh empat saudara. Sebagai penutup ceritanya yakni Inu
kertapati menjadi raja Keuripan dan batasari (saudara Candra Kirana) menjadi
raja Daha.
v Babad
Babad merupakan cerita yang biasanya lebih berupa
cerita daripada uraian sejarah, meskipun yang menjadi pola adalah memang
peristiwa sejarah. Cerita sejarah macam itu dikenal dari jaman purba seperti:
pararaton, Usana Jawa, Usana Bali dsb. Ada pula Nagarakrtagama; kitab ini
merupakan kitab sejarah betul-betul, meskipun disana-sisni dijumpai hal yang
berlebih-lebihan atau memang sengaja dilebihkan oleh penulisnya. Kitab sejarah
semacam inipun dijumpai dalam jaman madya. Dari beberapa contoh cerita sejarah
negeri kedah atau hikayat Marong Mahawangsa, kitab ini sesungguhnya bukanlah sejarah,
dan juga bukan babad, melainkan hikayat belaka.
5. Hal-hal
Lain
Adanya larangan agama Islam menggambarkan sesuatu
makhluk hidup dan memperlihatkan sesuatu kemewahan, dalam jalam madya ada
berbagai cabang kesenian yang kehilangan daya hidup atau paling sedikit
terbatas kelangsungannya. Unsur-unsur dari jaman purba banyak juga perubahan
ikut menyemarakan kebudayaan jaman madya misal Wayang purwa yang berlangsung
terus dan pertunjukan wayang seringkali di jumpai dalam kitab-kitab hasil
kesusasteraan jaman madya namun perlu diketahui bahwasanya seni drama dan seni
tari tetap mengikuti jiwa yang sudah di Islamkan tersebut.
daftar rujukan oleh siapa ini mbak,.,?
BalasHapus