Selasa, 25 Februari 2014

REFLEKSI PEMIKIRAN MONTESQUIEU DALAM BEBERAPA KARYANYA 1689-1755




 BAB I PENDAHULUAN

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Teori milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis, sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa. John locke (1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya nilai kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia biasa akan dapat terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh karena itu, solusi Locke adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif begitu saja.
Kelemahan pemikiran Locke adalah berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif tergantung legislatif. Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa milik tidak memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada minoritas. Walaupun banyak kelemahan, pemikirannya sangat berpengaruh di negara-negara Barat, teorinya tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) dikembangkan oleh Montesquieu. Pemikiran Locke tentang Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti oleh Rousseau, tentunya dengan perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak Sosial versi Locke dan Hobbes. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis dan pactum subyectionis.
Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi, Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik, walaupun kenyataan berkata lain. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika oleh Montesqueu.

 BAB II PEMBAHASAN

Sketsa Kehidupan
Charles Louis de Secondant Baron de Montequieu, atau biasa disingkat Mountesquieu, lahir di Bordeaux Prancis tahun 1689 merupakan pemikir yang ditakdirkan Tuhan untuk membaca dan menulis sepanjang hidupnya. Sebagian usianya dihabiskan untuk kegiatan intelektual. Demikian banyaknya ia membaca sampai mengalami kebutaan di akhir hidupnya. Di dunia Barat, Montesquieu dikenal tidak hanya sebagai filsuf politik, ia juga seorang sosiolog yang mendahului August Comte (bapak sosiologi Modern) dunia Barat, sejarawan sekaligus penulis novel. Gagasannya merefleksikan pemikiran sistem sosial dimana sebuah sistem sosial terdiri atas unit yang saling tergantung, menyatu, dan berinteraksi.[1]
Montesquieu adalah anak dari seorang bangsawan, ibunya meninggal ketika Montesquieu berusia 7 tahun, sedangkan ayahnya meninggal  saat ia berusia 24 tahun. Montesquieu diasuh seorang yang memiliki kedudukan terhomat, pastor yang kaya sekaligus sebagai pamannya bernama Jean Batista de Skondat. Dalam perjalanan hidupnya, banyak pengalaman yang di dapat, selain pendidikan yang di capai juga perjalanannya pengembaraan telah memberikan inspirasi, khazanah sekaligus motivasi yang mendorongnya untuk menyenangi menulis dan pengemukakan pandangan yang di publikasikan. Jadilah ia seorang penulis yang di kenal, handal, tekun, cemerlang, serta kritis dalam merumuskan gagasannya ia melakukan pengembaraan ke Jerman, Austria, Persia, Italia, Belanda  yang memberikan kekayaan pengetahuan dan empiris mengenai keadaan politik, masyarakat, kebudayaan serta filsafat yang tumbuh. Ia menjadi seorang ahli hukum, filsuf, pengarang umum dan penulis politik.[2]

ü  Filosofi
            Gagasan mempengaruhi perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan formulasi ketatanegaraan di dunia modern. Ia dihormati di kalangan perumus konstitusi Amerika, antara lain George Washington dan Thomas Jefferson karena pemikirannya mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII. Gagasannya mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan (separation of powers) Negara ke dalam tiga bentuk kekusaan (eksekutif, legislative, dan yudikatif) di terapkan di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat maupun Negara berkembang  seperti Indonesia. Digunakan Teoris Politica oleh para pendiri republik (founding fathers) sebagai sendi konseptual ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa kuatnya pengaruh Montesquieu terhadap mereka.
Esensi dari gagasannya mengenai 3 (tiga), pilar pembagian kekuasaan, atau tiga pilar Supra Struktur Politik dari suatu pemerintahan Negara berkaitan erat dengan kemerdekaan, yakni untuk menjamin adanya kemerdekaan.[3] Kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan sesuka hati yang memberikan hak pada seseorang untuk mengangkat   senjata, memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap yang lain. Masyarakat pada dasarnya harus memiliki hukum, kemerdekaan adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan dan diizinkan oleh hukum. Makna kemerdekaan bagi Montesquieu adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa keamanan diri, dimana seseorang tidak merasa takut dihadapan orang lain, pemerintah mengadakan suasana yang demikian. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, aspirasi, keinginan, dan gagasan batas tidak keluar dari aturan hukum yang berlaku. Keadaan pemerintah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Rasa aman, ketentraman dan kedamaian itu.[4]
Menurut Montesquieu, hukum sebenarnya memiliki pengertian yang amat luas , bersikap komplek, berkembang, berubah, dan segala hubungannya yang mungkin ada  yang dapat di bayangkan antar manusia adalah hukum. Oleh sebab itu, hukum dalam pengertian yang luas menyebabkan perbedaan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, maka hukum meliputi juga adat kebiasaan. Ia juga memiliki pebedaan penjelasan secara lebih konkret antara hukum dengan adat, bahwa hukum di pergunakan dalam pengertian yang lebih sempit dekat dengan hukum yang dibuat atau dibentuk dalam masyarakat manusia. Adapun hukum atau undang-undang   alam dengan melihat adanya keteraturan dan susunan yang tetap. Bedanya manusia dengan undang-undang alam adalah terletak kepada kemauan, manusia berkemauan dan dapat mengadakan perubahan, ini dalam undang-undang akan memberikan corak dari aturan yang mengatur dirinya. Maka sifat yang khas manusia itu, melalui fitrah, budi dan akalnya dapat dijumpai  adanya etika politik dan sebagainya. Perbedaan tempat, masa, pengaruh lingkungan iklim, alam lingkungan sekitarnya memainkan peran yang penting untuk lahirnya kelainan kebiasaan, adat-istiadat, hukum dan sifat-sifat pemerintahan dalam setiap negeri.[5]
Hal lain yang juga penting  untuk di kemukakan  dari pandangan tokoh pemikir ini adalah mengenai keadilan. Keadilan merupakan suatu pengertian yang telah ada  lebih dulu sebelum adanya  hukum positif. Manusia harus menyesuaikan diri dengan keadilan dan hukum positif yang sesuai dengan keadilan itu adalah hukum yang benar. Mengenai pembentukan undang-undang yang sesuai bagi negara, dari segi praktis pembentukan udang-undang itu harus mengenal semangat bangsa, yang pembentukannya melihat aspek iklim, agama, hukum yang ada, pendapat, pemikiran tentang pemerintahan serta politik pada umumnya, kebiasanan yang telah berjalan, sikap serta tindak-tanduk manusia. Semua ini akan menentukan bagaimana tipe pemerintahan itu.[6] Pandangan lainnya adalah berkaitan dengan kebebasan, Montesquieu mengagumi semangat kebebasan.[7]
Ia mengagumi pandangan Politik di masa Romawi di mana agama dimanipulasi untuk kepentingan kelanggengan  kekuasaan dan stabilitas politik. Agama itu untuk semata kejayaan, perekat, dan keberlangsungan imperium Romawi. Namun ia mengkritis agama Kristiani, menurutnya agama ini tidak membawa kebajikan moral kepada rakyatnya serta imperium Romawi. Saat Kaisar Konstantin Agung memeluk agama Kristiani dan memperlakukan sebagai agama negara, dalam kenyataannya, agama ni tidak mampu mengubah sifat-sifat kejam serta orang-orang romawi. Kejatuhan Romawi di sebabkan watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Mereka demekian besar untuk melakukan penaklukan bangsa-bangsa yang ada di sekitar imperium, menjarah, merampok, menganeksasi wilayah, tanah serta wanita dari negeri yang ditaklukan. Ini memicu kejatuhan imperium, sebab dengan meluasnya wilayah kekuasaan yang pengolahnya di bawah para panglima militer, tampaknya mereka berhasil mengukuhkan pengaruh di wilayah yang ditaklukan dan melemahnya kontrol pemerintahan pusat. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya apa yang dikenal dengan gerakan sentrifugal; terkikisnya loyalitas para panglima dan prajurit terhadap pemerintah pusat, menguatnya pengaruh budaya local, akhirnya adanya keinginan untuk melepaskan diri dari pusat pemerintah.[8] 
Mengenai kedudukan paus, Montesquieu melakukan kritik dengan mengatakan Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar menyindirnya sebagai “tukang sulap” yang lain. Paus menuntut orang  agar percaya  pada Doktrin Trinitas, Tuhan terdiri atas tiga oknum tetap satu; tiga tetapi satu. Juga doktrin bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembaptisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.[9]
Montesquieu juga melakukan kritikan kepada agama Islam, melalui karikatur watak Usbek, dilukiskan sebagai seorang Muslim ortodok yang saleh. Islam digambarkan sebagai agama yang membolehkan pemilikan harem. Ia mengkritik sebagai despotism seksual yang seakan diidentikan dengan agama yang dianut. Akibatnya perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki. Despotism dalam bentuk apa pun tetap akan selalu menindas rasionalitas serta kebebasan berpikir serta menyebabkan terjadinya penindasan yang membinaskan.[10]

Karya-karyanya
            Karya the Consideration on the Causes of the Grandeur and Decadanceof the Romans di terbitkan pertamakali tahun 1743. Buku yang berisi karangan-karangan tentang sejarah Romawi ini banyak mendasarkan data dan sumber  penulisan pada karya Levy, Plybius, Thocydides dan di pengaruhi Machiavelli ini menurut Plamenatz memiliki cacat-cacat akademis. Di jaman Montesquieu karya ini tidak terlalu popular dan tidak banyak dikagumi orang, apalagi kaum cendekiawan. Dari sedikit cendekiawan yang mengagumikarya Monstesquieu itu adalah Edward Gibbon, penulis buku monumental Decline and Fall of the Roman Empire.[11]
Melihat kedua judul buku yang di tulis mereka tampak Montesquieu maupun Gibbon memiliki minat yang sama terhadap sejarah Romawi Kuno. Hanya kalau Gibbon memfokuskan kajiannya pada kejatuhan, sedangkan Montesquieu pada kebangkitan, kebesaran dan sekaligus kejatuhan Imperium Romawi. Karya Gibbon termashyur  karena sangat mendalam membahas topik penelitian sejarah kejatuhan Romawi berupa enam jilid tebal buku berjumlah ribuan halaman, sedangkan Montesquieu membahas topik kajiannya hanya secara sekilas berbentuk sebuah buku tipis.
Di bagian awal buku itu Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi, menurutnya, Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum.[12] Ia melacak sejarah kebangkitan Romawi dengan pengungkapan episode-episode penting sejarah pertumbuhan inperium itu. Montesquieu tidak menggunakan pendekatan sejarah liniear, yaitu metode yang melihat sejarah lahirnya imperium secara kronologis, mulai dari masa awal sampai tingkat perkembangannya yang terakhir secara detail. Montesquieu tidak percaya dalam perkembangan sejarah yang kumulatif atau rentepan sejarah yang berkesinambungan. Baginya sejarah adalah gerak pertumbuhan yang menunjukan keterputusan (discontinuity), bukan suatu kesinambungan (continuity).
Montisquieu dan Machiavelli mempunyai perbedaan yang kemudian terefleksi dalam analisis mereka tentang sejarah Romawi. Machiavelli melihat orang-orang besar yang mengejar kemashuran dan kekuasaan dan pahlawan misalnya, sebagai individu yang berperanpenting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Ambisi individual mereka yang membuat merekaberhasil membangun berhadapan dalam sejarah. Dalam kasus Romawi, tanpa keberdaan individu-individu itu Romawi tidak akan pernah ada. Seandainya pun Romawi ada sejarah peradaban kebesarannya tidak semegah apabila inperium itu tidak memilikiorang-orang besar. Pemikiran Machiavelli ini mirip dengan tesis sejarawan terkemuka inggris, Thomas Carlyle yang berendapat bahwa sejarah tidaklain merupakanhj riwayat hidup (biography) orang-orang besar (great men) atau pahlawan (heroes) tanpa mereka tidakakan ada sejarah.[13]
Montesquieu lebih jauh mengungkapkan bahwa sebab kejayaan dan kejatuhan Romawi. Oleh karena watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Watak itu ditunjang oleh kegigihan orang Romawi berlatih kemilitiran sehingga rakyat dan penguasa Romawi merupakan kaum militer professional. Mereka mahir, tidak hanya dalam mengatur stategi berperang tapi juga mempergunakan senjata. Profesionalisme kemiliteran inilah yang membuat imperium romawi memiliki semangat luar biasa menaklukkan bangsa-bangsa yang ada disekitar imperium. Mereka menjarah, merampok, mencaplok tanah-tanah rakyat dan wanita-wanita negeri taklukkan.[14] Dengan cara itulah imperium Romawi melakukan ekspansi teritorial. Imperium Romawi menjadi suatu territorial kekuasaan yang demikian luas.
Menurut Montesquieu faktor moral juga cukup berpengaruh terhadap proses kejatuhan Romawi. Kekejaman, kebiadaban dan kebrutalan para jenderal militer atau kaisar telah membuat rakyat tertindas. Rakyat yang tertindas, islam berupaya mencari cela untuk menjatuhkan penguasa. Mereka memanfaatkan saat saat krisis untuk menjatuhkan pemerintah kaisar. Perlawanan rakyat dari dalam, dan kemudian diiringi oleh serangan brutal suku  bangsa di sekitar imperium membuat imperium romawi tak mampu bertahan. Dan itulah yang terjadi ketika kaum ghotik kemudian disusul Persia menyerang Romawi, imperium ini hancur. Romawi yang merupakan “Negara adijaya” ( superpower ) hancur berkeping-keping dan menjadi “ tengkorak sejarah”. Kini di abad modern, kita hanya bias meyakinkan sisa – sisa kebesaran bangsa itu melalui bangunan-bangunan bersejarahnya, seperti koloseum atau karya-karya seni zaman itu.

Surat-surat Persia
            Karya The Persian Letters ( Surat-surat Persia)[15] merefleksikan melanjutkan semangat Abad pencerahan yang memadukan reionalisme Descartes, empirisisme Locke dan sketisme pierre Bayle.[16] Meskipun karya ini lebih cocok disebut karya satire atau novel yang sepenuhnya atau fiktif belaka, isinya tidaklah sesederhana seperti banyak terdapat dalam karya sejenis. Surat-surat Persia ditulis Montesquieu berdasarkan pengamatannya yang jeli terhadap kehidupan sosial sehari-hari, pemuka agama dan penguasa negerinya. Karya ini juga penuh nuansa pemikiran serius mengenai politik, sosiologi, sejarah dan agama. Disinilah terletak keunikan tulisan Montesquieu tersebut.
Surat-surat Persia diterbitkan anonym (tanpa nama pengarang) tahun 1721 di Amsterdam (belanda). Montesquieu sebagaimana locke, merasa perlu mengidentifikasikan sebagai penulis karyanya demi menghindari kemungkinan pembreidelan atau bahkan ancaman atau bahkan ancaman keras dari kekuasaan despotisme perancis. Kekuasaan despotisme tidak memperkenankan karya – karya subversive seperti surat-surat Persia atau kontrak sosial locke beredar bebas luar di Negara penulis bersangkutan. Meskipun demikian, pelarangan itu justru membuat karya  Montesquieu dicari orang dan nampaknya pelarangan itu tidak efektif karena ternyata karya  Montesquieu diselundupkan secara illegal.
Usbek ( nama suku Usbekistan ), dituliskan watak dan kepribadiannya oleh Montesquieu sebagai muslim ortodoks yang taat yang melaksanakan ritual aneh seperti yang dilakukan orang Kristen. Usbek cerdas dan memiliki motivasi kuat dan mencari pengalaman dan pengetahuan di negeri asing.[17] Tapi ia seorang despotik yang memiliki banyak harem (istri-istri simpanan) dibelakang rumahnya. Dengan harem-haremnya itulah ia memuaskan nafsu birahinya selama hidup di pasri. Usbek juga mengetahui kesalahan orang dan negeri lain, tapi kurang menyadari kesalahannya sendiri.[18] Rica, sahabatnya dilukiskan sebagai seorang periang, pandai membuat sketsa watak tokoh-tokoh tertentu, berusia lebih muda dari Usbek, tidak memiliki harem gampang menyesuaikan diri dan humoris serta menyukai pengalaman baru.
Sebagai perantau yang hidup di perancis Usbek mengamati berbagai sisi kehidupan orang perancis. Melalui dua tokoh fiktif itu, Montesqueiu mengeritik tajam adat kebiasaan, gaya hidup, hubungan kekuasaan politik dan agama. Mengenai kebiasaan adat kebiasaan orang perancis, misalnya, Usbek dan Rica, mengemukakan rasa keheranannya mengapa orang di Negara itu suka memotong rambutnya dan menggantinya dengan rambut palsu.[19] Selain penuh Kritik, karya ini juga berisi cerita-cerita jenaka. Melalui surat-surat Rica, Montesquieu menceritakan kisah tentang seorang ahli kimia yang sedang dilanda birahi, wanita yang mengaku usianya sama dengan usia anaknya, pengangguran dan juri yang angkuh, pesolek muda yang cerdik, kalangan berpendidikan tolol, laki-laki borjuis yang kaya yang sibuk mengurusi garis keturunannya, serta para sarjana yang kesombongan intelektualnya sama dengan kecilnya bakat mereka dan kisah-kisah jenaka lainnya.[20]
Di sini Montesquieu mengkritik Depotisme seksual, yang seakan diidentikkan dengan agama yang dianut Usbek. Tradisi harem merupakan sebuah kejahatan despotis karena ia mendiskriminasi hak-hak perempuan dan menindas mereka. Perempuan tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki seorang laki-laki. Segala tingkah lakunya ditentukan oleh laki-laki. Perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi orang lain yang dikehendaki laki-laki pemiliknya. Dengan menekan kebebasan manusia, Despotisme semacam itu menurut Montesquieu menghancurkan hakikat kemanusiaan.[21]
Melalui pelukisan watak Usbek, Montesauieu menentang segala bentuk Despotisme. Termasuk konsep Despotisme yang tercerahkan (enlightened despotism) ia mengkritik Despotisme jenis ini mengandung cacat-cacat teoritis. Montesquieu tidak percaya bahwa Despotisme yang tercerahkan itu mampu melakukan transformasi masyarakat Perancis ke ara pembentukan struktur sosial yang lebih baik. Despotism apapun bentuknya, tetap akan selalu menindas rasionalitas dan kebebasan berfikir dan menyebabkan terjadinya penindasan manusia yang membinasakan.[22] Islam, juga Kristen dilihat Montesquieu sebagai agama yang mengajarkan fatalism. Para pengikut kedua agama diajarkan agar patuh dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Hal ini menurut Montesquieu membuat para penganut agama itu fatalis dan tidak aktif berbuat sesuatu dalam hidup mereka.[23]

Politik
Tiga Pilar Supra Struktur, apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa yang sama tidaklah mungkin ada suatu kemerdekaan, tidak juga dapat tegak kemerdekaan bila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislative. Penggabungan tiga pilar suprastuktur hanya memberikan penguasa Negara dengan pengelolaan negara sesuka hati, dan hakim akan menjadi bagian yang turut membuat undang-undang. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan dengan pelaksana pemerintahan, maka yang terjadi adalah kekerasan dan penindasan. Maka akan berakhir segala-galanya bila yang mengelola adalah orang yang sama atau badan yang sama.[24] Sebab itu masing-masing pilar itu saling mengawasi serta menghambat kemungkinan penyelewengan. Bagi Montesquieu, cara seperti ini tidak akan memacetkan kerja pemerintahan, sebab kehidupan dan masalah manusia akan mendesakkan ketiga kekuasaan itu bergerak dan tidak tinggal diam, dengan gerak bersesuai atau sejalan di antara ketiganya.[25]
Pembagian kekuasaan (disktribution of power) bukan berarti pemisahan kekuasaan secara mutlak (separation of power), sebab masih adanya saling pengaruh antara badan-badan yang mengendalikan masing-masing pilar supra-sturktur politik tersebut. Saling mempengaruhi, ada titik singgung dalam pekerjaan masing-masing dalam batas-batas tertentu. Untuk sebagai contoh, negara yang menganut paham Trias Politika dari ajaran Mountesquieu adalah Amerika Serikat, selain negeri-negeri Barat lainnya. Dengan demikian, pendekatan Konstitusional demikian penting dalam mengatur pemerintahan dalam pemikiran Montesquieu.[26] Montesquieu seorang konstitusionalis. Di Inggris pembagian kewenangan dalam legislative adalah antara House of Common (Lower House) dan House of Lord (Upper House). Para wakil rakyat tidak terikat dengan titipan tugas dan petunjuk dari pemilih.[27]
Legislatif, kekuasaan ini harus terletak pada seluruh rakyat, tetapi tidak mungkin terlaksana dalam wilayah yang luas daerahnya, untuk negara yang kecil pun ini menghadapi masalah dengan berbagai persoalan. Untuk hal itu pelaksanaannya diperlukan oleh wakil-wakil rakyat, adanya perwakilan rakyat akan memungkinkan pembicaraan masalah itu dengan lebih memuaskan. Montesquieu, merepresentasikan keterwakilan tidak secara homogeny, ia memiliki pandangan bahwa perlu adanya pengakuan terhadap golongan bangsawan dengan menempatkan perwakilan terbagi dua, yakni dari kalangan bangsawan[28] dan rakyat biasa, dan masing-masing perwakilan itu dapat bekerja atas persetujuan salah satunya. Ini kemudian disebut dengan kamar (kamer: bahasa Belanda). Masing-masing memiliki veto atas lainnya.[29] Rakyat dalam pengertian berdaulat yang dimaksud Montesquieu adalah berupa Dewan Rakyat bukan orang-orang yang mewakili rakyat. Mereka bukanlah wakil rakyat seperti yang dipahami pada umumnya sekarang. Dewan rakyat dalam pengertiannya semacam dewan yang terdapat dalam zaman Yunani dan Romawi Kuno.[30] Berperan sebagai mediator rakyat dengan penguasa, sebagai komunikator serta aggregator aspirasi dari kepentingan orang banyak.
Dengan demikian, pembagian kekuasaan legislative dan eksekutif menurut perumusan Montesquieu dalam demokrasi parlementer modern diganti oleh dualism antara partai pemerintah dengan oposisi. Akan tetapi, dalam pola apapun pembagian kekuasaan dilandasi pengertian bahwa kebebasan dalam suatu masyarakat hanya dapat dijamin, dimana terdapat suatu plurarisme serta keseimbangan kekuatan sosial.[31]
Tipe pemerintahan, Montesquieu menyebutkan adanya perbedaan tipe, yakni republik, monarki, dan despotism, yang dijelaskan sebagai berikut:
Republik, ini dihubungkan erat dengan demokrasi, rakyat berpegang pada kebajikan, dan baginya ini adalah kejujuran, patriotism, dan kecintaan terhadap persamaan. Persamaan sangatlah penting, sebab ini yang melahirkan perasaan bahagia dan harapan serta dapat membatasi keinginan perorangan dan kebahagiaan diri. Rakyat memiliki kekuasaan tertinggi, yakni demokrasi, dalam demokrasi rakyat berdaulat dalam hal tertentu dan merupakan kaula dalam hal tertentu. Tidak ada penyelenggaraan kedaulatan kecuali dengan hak pilih rakyat yang merupakan kemauan sendiri, maka kemauan penguasa berdaulat (sovereign) adalah penguasa itu sendiri dan hukum yang menetapkan hak untuk memilih merupakan dasar bagi pemerintahan ini.[32] Di mata Montesquieu bentuk republic merupakan yang terbaik, sebab rakyat pemegang kedaulatan tertinggi. Bentuk republic inilah rakyat dituntut untuk berbuat kebajikan suatu keutamaan. Istilah kebajikan ini tidak mengacu kepada moralitas, melainkan politik; yaitu adanya semangat untuk menghormati hukum negara dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum, maka di dalam negara republic dikenal asas kesamaan derajat di antara warga negara. Hancurnya system Republik disebabkan oleh beberapa hal: timbulnya semangat kebersamaan yang ekstrem. Apabila setiap masyarakat merasa sederajat dengan penguasa yang memerintah negara, akibatnya rasa hormat atasan atau penguasa negara lenyap; mendebat senat semena-mena dan menggantikan pejabat kehakiman; kekeliruan makna kebebasan – tak ada rasa hormat dan etika dalam pola hubungan di tengah masyarakat; merajalelanya korupsi.[33]
Monarki, pada tipe ini kehormatanlah yang jadi pegangan. Sedangkan ambisi memberikan pengaruh terhadap semangat bagi pemerintah. Soal bahaya ambisi dapat dihambat dengan system pengawasan melalui tiga macam supra-struktur politik dalam pemerintahan.[34]Dalam monarki kekuasaan diperintah beberapa orang aristokrasi (bangsawan, atau seorang penguasa). Bentuk negara ini tidak buruk bila penguasa menghormati hukum, rakyat dan hak istimewa kalangan bangsawan. Apabila tidak maka monarki ini akan terjebak ke dalam bentuk negara despotis. Hilangnya rasa hormat akan berpengaruh pada negara, yakni negara akan rusak dan sulit berfungsi sebagaimana mestinya bila hak bangsawan itu dicabut. Baginya memiliki pandangan bahwa manusia memang memiliki perbedaan, ada yang lebih cerdas dan lebih terhormat dari yang lainnya. Model negara monarki, Montesquieu mengacu pada monarki yang terdapat di Eropa, khususnya di Inggris dan Prancis.[35] Rusaknya negara monarki apabila kaum bangsawan seweneang-wenang melanggar hukum, prinsip-prinsip kenegaraan dilanggar, melakukan perubahan-perubahan tradisi yang telah mapan, penguasa memiliki egosentris yang demikian kuat menyamakan ibu kota negara dengan negara, dan menyalagunakan wewenang terhadap rasa cinta kepada rakyat serta tidak percaya bahwa dirinya aman merupakan factor lain yang dapat menghancurkan monarki.[36]
Despotisme, masyarakat yang berdasar despotism akan melahirkan rasa takut, disebabkan gangguan dari si despot, yakni penguasa yang sewenang-wenang. Yang jelas Montesquieu, menolak despotism dalam Trias politiknya.[37] Despoti merupakan bentuk negara terburuk. Sebuah negara yang diperintah oleh satu orang yang menentukan segala sesuatu dengan atas dasar kemauannya sendiri. Pola kekuasaan yang berkembang didasarkan atas ambisi, kepicikan, ketakutan, ingin kaya tanpa usaha, suka akan sanjungan, pengkhianatan dan memandang rendah apa yang dikenal dengan kewajiban kenegaraan. Sebuah negara yang menjalankan roda kekuasaannya dengan otoriter. Namun di hadapan penguasa despotis agama menjadi factor penting untuk diperhitungkan-mereka berhati-hati untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama. Montesquieu member contoh sejumlah negara despotis yang ada di Asia, seperti Cina, Jepang dan India, dimana Aron menggambarkan negara despotis itu suatu negara yang melakukan penghambaan dengan kedudukan penguasa yang mutlak dengan tanpa hukum dan undang-undang untuk menjalankan pemerintahannya, tidak ada kelas sosial yang memberikan keseimbangan, tidak ada tatanan serta kewajiban yang sama. Negara hanya diatur oleh seorang yang segala bisa dengan menanamkan ketakutan kepada jutaan orang.[38]
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Doktrin trias politika ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. John Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan absolut. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri). Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari raja-raja Bourbon, dia ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam uraian dia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.
Menurut dia tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri.
Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia, 2007.
Hardiman, F Budi. Pemikiran-pemikiran yang membentuk Dunia Modern. Jakarta: Erlangga, 2011.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat (Sejarah, filsafat, Ideologi, dan pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3). Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.

[1] Ahmad Suhelmi, op.cit, hlm 217
[2] Magnes Suseno Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia, 1991, hlm. 225.
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat, Bandung, Mirzan, 1999, hlm 135.
[4] Deliar Noer, Ibid, hlm. 137.
[5] Ibid, hlm.139.
[6] Ibid
[7] Ahmad Suhelmi, op.cit, hlm. 218.
[8] Montesquieu mengatakan bahwa semasa pemerintah Konstantin, ia telah berhasil mengurangi kegiatan pertarungan gladiator yang biadab, tetapi secara keseluruhan usahanya memperbaiki moral jauh dikatakan berhasil. Ibid, hlm. 219-220.
[9] Kata pengantar Imam dalam Montesquieu, Membatasi..., op.cit, hlm. 22.
[10] Tampaknya Montesquieu belum mampu melepaskan dirinya dari sikap Xeopobia abad pertengahan terhadap Islam. Ia berbeda dengan pemikir besar Eropa lainnya seperti Gibbon, ia tampak jauh lebih obyektif dibandingkan dengan Montesquieu. Gibbon selalu mengkritik Islam dengan tajam, tetapi mengakui kebesaran agama dan Rasul Muhammad. Ahmad Suhelmi, op.cit, 225.
[11] Lihat Edward Gibbon, History of Decline and Fall of The Roman Empire, London: J.M. Dent and Sons, 1945.
[12] Shklar, Montesquieu, op. cit, hal 75
[13] Lihat, Carlyle, Hero and Hero Worship, n.p., 1965.
[14] Ini factor penting mengapa rakyat negeri taklukkan memendam kebencian dan dendam berkepanjangan terhadap bangsa Romawi. Perlawanan-perlawanan bersenjata terhadap sang penakluk pun sering terjadi. Misalnya yang terjadi di tanah Palestina di abad-abad pertama Masehi: ketika tanah Palestina dan sekitarnya jatuh ke tangan tentara Muslim (masa khalifah Umar Ibnu Khattab), abad VII M, dan tentara Romawi berhasil dipukul mundur, system kekuasaan yang menindas dan intimidatif digantikan oleh system kekuasaan yang demokratis dan toleran. Di bawah kekuasaan imperium Islam, rakyat Palestina merasa terayomi, terjamin hak-hak asasinya, dilindungi harta dan jiwanya ketimbang saat dikuasai orang-orang Romawi yang justru seagama dengan mereka. Kenyataan historis ini diakui para sejarawan seperti William Muir, Gibbon, dan Bernard Lewis. Mengenai toleransi kekuasaan Islam atas negeri-negeri taklukkan dan penduduknya (kaum minoritas, al ahlu al dzimmy), lihat Yusuf Qordhowy, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam, terj. M. Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1994.
[15] Karya asli Montesquieu ini dalam bahasa Perancis, Lettre Persane, Paris: Garnier Flammarion, 1964, terjemahan dalam bahasa Indonesia, Surat-surat Persia, terjemahan, Jakarta: Dian Rakyat, 1992.
[16] Anchor, The Enlightenment Tradition, University of California Press: Berkeley, Los Angeles and London, 1979, hal.37.
[17] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, Jakarta:Gramedia, 1993, hal.4
[18] Lukisan Montesquieu tentang fitur Usbek bermakna simbolik bahwa seorang Muslim taat memiliki kecenderungan depotik yang kuat, menganut prinsip poligami (memiliki banyak istri) dan pengumbar nafsu birahi. Ini merupakan bias Orientalisme barat terhadap Islam di masa-masa awal perkembangan kajian-kajian ketimuran di Barat.
[19] Kata Pengantar Imam, dalam Montesquieu, Ibid, hal ix.
[20] Shklar, Montesquieu, op.cit., hal 71.
[21] Ancho, The Enlightenment, op.cit., hal 71.
[22] Shklar, Montesquieu, op. cit., hal 48.
[23] Ibid, hal 59.
[24] Deliar Noer, Ibid, hlm.136
[25] Ibid, hlm.137
[26] Manfaat Konstitusi yang dikemukakan renaisans ini juga ada pengaruhnya dari karya-karya Polybius bahwa konstitusi UUD dapat menyelamatkan negara apapun bentuk negara bersangkutan. Kosntitusi bentuk negara Republik Romawi diyakini telah berhasil mencegah republik ini dari kehancuran total. Lihat Ahmad Suhelmi, op.cit.137.
[27] Magnis Suseno, op.cit,hlm.225-226
[28] Dengan adanya kalangan bangsawan itulah menurut Montesquieu, parlemen menjadi lebih ideal dalam melakukan tugas-tugas kenegaraan, adanya “Dua kamar” itu memungkinkan terjadinya check and balance
[29] Deliar Noer. Op.cit,hlm.137.
[30] Arom, Main Carrent in Sosiological Thought, I Moddlesex, England, Penguin Book, 1974.
[31] Magnis Suseno, op.cit.hlm.226
[32] Deliar Noer, op.cit. hlm.139 dan 141.
[33] Ahmad Suhelmi.op.cit, hlm 233.
[34] Deliar Noer, op.cit.
[35] Montesquieu, membatasi kekuasaan telah Mengenai Jiwa Undang-undang, Jakarta, Gramedia,1993. Hlm.34-35.
[36] Ibid.hlm. 38-39.
[37] Deliar Noer, op.cit.
[38] Aron, Main Current,op.cit,hlm. 28-29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar