BAB I PENDAHULUAN
Dalam sebuah
praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara
absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana
kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut
perlu adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan
keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes
sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Teori
milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis, sangat berkebalikan dengan
versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes
yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang mengikat semua pada
pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari
kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa. John locke
(1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran
Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya
nilai kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia
biasa akan dapat terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh
karena itu, solusi Locke adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum,
badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut
dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang
pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif begitu saja.
Kelemahan pemikiran Locke adalah
berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif tergantung legislatif.
Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa milik tidak
memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada
minoritas. Walaupun banyak
kelemahan, pemikirannya sangat berpengaruh di negara-negara Barat, teorinya
tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) dikembangkan oleh
Montesquieu. Pemikiran Locke tentang Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti
oleh Rousseau, tentunya dengan perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak
Sosial versi Locke dan Hobbes. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum
unionis dan pactum subyectionis.
Para penguasa menurut keduanya sama-sama
berkurang kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat,
di mana legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat
sendiri dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang
kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi,
Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik, walaupun kenyataan berkata lain.
Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan judikatif, namun pemikiran
Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika oleh Montesqueu.
BAB II PEMBAHASAN
Charles
Louis de Secondant Baron de Montequieu, atau biasa disingkat Mountesquieu,
lahir di Bordeaux Prancis tahun 1689 merupakan pemikir yang ditakdirkan Tuhan
untuk membaca dan menulis sepanjang hidupnya. Sebagian usianya dihabiskan untuk
kegiatan intelektual. Demikian banyaknya ia membaca sampai mengalami kebutaan
di akhir hidupnya. Di dunia Barat, Montesquieu dikenal tidak hanya sebagai
filsuf politik, ia juga seorang sosiolog yang mendahului August Comte (bapak
sosiologi Modern) dunia Barat, sejarawan sekaligus penulis novel. Gagasannya
merefleksikan pemikiran sistem sosial dimana sebuah sistem sosial terdiri atas
unit yang saling tergantung, menyatu, dan berinteraksi.[1]
Montesquieu
adalah anak dari seorang bangsawan, ibunya meninggal ketika Montesquieu berusia
7 tahun, sedangkan ayahnya meninggal
saat ia berusia 24 tahun. Montesquieu diasuh seorang yang memiliki
kedudukan terhomat, pastor yang kaya sekaligus sebagai pamannya bernama Jean
Batista de Skondat. Dalam perjalanan hidupnya, banyak pengalaman yang di dapat,
selain pendidikan yang di capai juga perjalanannya pengembaraan telah
memberikan inspirasi, khazanah sekaligus motivasi yang mendorongnya untuk
menyenangi menulis dan pengemukakan pandangan yang di publikasikan. Jadilah ia
seorang penulis yang di kenal, handal, tekun, cemerlang, serta kritis dalam
merumuskan gagasannya ia melakukan pengembaraan ke Jerman, Austria, Persia,
Italia, Belanda yang memberikan kekayaan
pengetahuan dan empiris mengenai keadaan politik, masyarakat, kebudayaan serta
filsafat yang tumbuh. Ia menjadi seorang ahli hukum, filsuf, pengarang umum dan
penulis politik.[2]
ü
Filosofi
Gagasan mempengaruhi
perkembangan pemikiran negara dan hukum di berbagai belahan dunia selama
berabad-abad. Pengaruh pemikirannya mudah dilacak dalam konstitusi dan
formulasi ketatanegaraan di dunia modern. Ia dihormati di kalangan perumus
konstitusi Amerika, antara lain George Washington dan Thomas Jefferson karena
pemikirannya mempengaruhi perumusan konstitusi Amerika di abad XVIII. Gagasannya
mengenai Trias Politica yang memisahkan kekuasaan (separation of powers) Negara ke dalam tiga bentuk kekusaan (eksekutif,
legislative, dan yudikatif) di terapkan di Negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat maupun Negara berkembang seperti
Indonesia. Digunakan Teoris Politica oleh para pendiri republik (founding
fathers) sebagai sendi konseptual ketatanegaraan kita menunjukkan bahwa kuatnya
pengaruh Montesquieu terhadap mereka.
Esensi
dari gagasannya mengenai 3 (tiga), pilar pembagian kekuasaan, atau tiga pilar
Supra Struktur Politik dari suatu pemerintahan Negara berkaitan erat dengan
kemerdekaan, yakni untuk menjamin adanya kemerdekaan.[3]
Kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan sesuka hati yang memberikan hak pada
seseorang untuk mengangkat senjata,
memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap yang lain. Masyarakat
pada dasarnya harus memiliki hukum, kemerdekaan adalah hak untuk berbuat apa
yang dibenarkan dan diizinkan oleh hukum. Makna kemerdekaan bagi Montesquieu
adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa keamanan diri, dimana
seseorang tidak merasa takut dihadapan orang lain, pemerintah mengadakan
suasana yang demikian. Setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya, aspirasi,
keinginan, dan gagasan batas tidak keluar dari aturan hukum yang berlaku.
Keadaan pemerintah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Rasa aman,
ketentraman dan kedamaian itu.[4]
Menurut
Montesquieu, hukum sebenarnya memiliki pengertian yang amat luas , bersikap
komplek, berkembang, berubah, dan segala hubungannya yang mungkin ada yang dapat di bayangkan antar manusia adalah
hukum. Oleh sebab itu, hukum dalam pengertian yang luas menyebabkan perbedaan
antara masyarakat yang satu dengan yang lain, maka hukum meliputi juga adat
kebiasaan. Ia juga memiliki pebedaan penjelasan secara lebih konkret antara
hukum dengan adat, bahwa hukum di pergunakan dalam pengertian yang lebih sempit
dekat dengan hukum yang dibuat atau dibentuk dalam masyarakat manusia. Adapun
hukum atau undang-undang alam dengan
melihat adanya keteraturan dan susunan yang tetap. Bedanya manusia dengan
undang-undang alam adalah terletak kepada kemauan,
manusia berkemauan dan dapat mengadakan perubahan, ini dalam undang-undang
akan memberikan corak dari aturan yang mengatur dirinya. Maka sifat yang khas
manusia itu, melalui fitrah, budi dan akalnya dapat dijumpai adanya etika politik dan sebagainya. Perbedaan
tempat, masa, pengaruh lingkungan iklim, alam lingkungan sekitarnya memainkan
peran yang penting untuk lahirnya kelainan kebiasaan, adat-istiadat, hukum dan
sifat-sifat pemerintahan dalam setiap negeri.[5]
Hal
lain yang juga penting untuk di kemukakan dari pandangan tokoh pemikir ini adalah
mengenai keadilan. Keadilan merupakan
suatu pengertian yang telah ada lebih
dulu sebelum adanya hukum positif. Manusia
harus menyesuaikan diri dengan keadilan dan hukum positif yang sesuai dengan
keadilan itu adalah hukum yang benar. Mengenai pembentukan undang-undang yang
sesuai bagi negara, dari segi praktis pembentukan udang-undang itu harus
mengenal semangat bangsa, yang pembentukannya melihat aspek iklim, agama, hukum
yang ada, pendapat, pemikiran tentang pemerintahan serta politik pada umumnya,
kebiasanan yang telah berjalan, sikap serta tindak-tanduk manusia. Semua ini
akan menentukan bagaimana tipe pemerintahan itu.[6]
Pandangan lainnya adalah berkaitan dengan kebebasan, Montesquieu mengagumi
semangat kebebasan.[7]
Ia
mengagumi pandangan Politik di masa Romawi di mana agama dimanipulasi untuk
kepentingan kelanggengan kekuasaan dan
stabilitas politik. Agama itu untuk semata kejayaan, perekat, dan
keberlangsungan imperium Romawi. Namun ia mengkritis agama Kristiani,
menurutnya agama ini tidak membawa kebajikan moral kepada rakyatnya serta
imperium Romawi. Saat Kaisar Konstantin Agung memeluk agama Kristiani dan
memperlakukan sebagai agama negara, dalam kenyataannya, agama ni tidak mampu
mengubah sifat-sifat kejam serta orang-orang romawi. Kejatuhan Romawi di
sebabkan watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Mereka demekian besar
untuk melakukan penaklukan bangsa-bangsa yang ada di sekitar imperium,
menjarah, merampok, menganeksasi wilayah, tanah serta wanita dari negeri yang
ditaklukan. Ini memicu kejatuhan imperium, sebab dengan meluasnya wilayah
kekuasaan yang pengolahnya di bawah para panglima militer, tampaknya mereka
berhasil mengukuhkan pengaruh di wilayah yang ditaklukan dan melemahnya kontrol
pemerintahan pusat. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya apa yang dikenal
dengan gerakan sentrifugal; terkikisnya loyalitas para panglima dan prajurit
terhadap pemerintah pusat, menguatnya pengaruh budaya local, akhirnya adanya
keinginan untuk melepaskan diri dari pusat pemerintah.[8]
Mengenai
kedudukan paus, Montesquieu melakukan kritik dengan mengatakan Paus telah
menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar menyindirnya sebagai “tukang
sulap” yang lain. Paus menuntut orang
agar percaya pada Doktrin Trinitas, Tuhan terdiri atas
tiga oknum tetap satu; tiga tetapi satu. Juga doktrin bahwa roti dan anggur
yang diminum dalam acara pembaptisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan
darah Yesus.[9]
Montesquieu
juga melakukan kritikan kepada agama Islam, melalui karikatur watak Usbek,
dilukiskan sebagai seorang Muslim ortodok yang saleh. Islam digambarkan sebagai
agama yang membolehkan pemilikan harem.
Ia mengkritik sebagai despotism seksual
yang seakan diidentikan dengan agama yang dianut. Akibatnya perempuan tidak
memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki kaum lelaki. Despotism dalam
bentuk apa pun tetap akan selalu menindas rasionalitas serta kebebasan berpikir
serta menyebabkan terjadinya penindasan yang membinaskan.[10]
Karya-karyanya
Karya the Consideration on the Causes of the Grandeur and Decadanceof the
Romans di terbitkan pertamakali tahun 1743. Buku yang berisi
karangan-karangan tentang sejarah Romawi ini banyak mendasarkan data dan
sumber penulisan pada karya Levy,
Plybius, Thocydides dan di pengaruhi Machiavelli ini menurut Plamenatz memiliki
cacat-cacat akademis. Di jaman Montesquieu karya ini tidak terlalu popular dan
tidak banyak dikagumi orang, apalagi kaum cendekiawan. Dari sedikit cendekiawan
yang mengagumikarya Monstesquieu itu adalah Edward Gibbon, penulis buku
monumental Decline and Fall of the Roman
Empire.[11]
Melihat
kedua judul buku yang di tulis mereka tampak Montesquieu maupun Gibbon memiliki minat yang sama
terhadap sejarah Romawi Kuno. Hanya kalau Gibbon memfokuskan kajiannya pada
kejatuhan, sedangkan Montesquieu pada kebangkitan, kebesaran dan sekaligus
kejatuhan Imperium Romawi. Karya Gibbon termashyur karena sangat mendalam membahas topik
penelitian sejarah kejatuhan Romawi berupa enam jilid tebal buku berjumlah
ribuan halaman, sedangkan
Montesquieu membahas topik kajiannya hanya secara sekilas berbentuk sebuah buku
tipis.
Di
bagian awal buku itu Montesquieu menjelaskan tentang hakikat Roma, ibu kota
pemerintahan imperium Romawi, menurutnya, Roma bukanlah sebuah kota (city) dalam pengertian modern yang kita
pahami sekarang ini, melainkan sebuah tempat pertemuan umum.[12]
Ia melacak sejarah kebangkitan Romawi dengan pengungkapan episode-episode
penting sejarah pertumbuhan inperium itu. Montesquieu tidak menggunakan
pendekatan sejarah liniear, yaitu metode yang melihat sejarah lahirnya imperium
secara kronologis, mulai dari masa awal sampai tingkat perkembangannya yang
terakhir secara detail. Montesquieu tidak percaya dalam perkembangan sejarah
yang kumulatif atau rentepan sejarah yang berkesinambungan. Baginya sejarah
adalah gerak pertumbuhan yang menunjukan keterputusan (discontinuity), bukan suatu kesinambungan (continuity).
Montisquieu
dan Machiavelli mempunyai perbedaan yang kemudian terefleksi dalam analisis
mereka tentang sejarah Romawi. Machiavelli melihat orang-orang besar yang
mengejar kemashuran dan kekuasaan dan pahlawan misalnya, sebagai individu yang
berperanpenting dalam pembentukan sejarah bangsa itu. Ambisi individual mereka
yang membuat merekaberhasil membangun berhadapan dalam sejarah. Dalam kasus
Romawi, tanpa keberdaan individu-individu itu Romawi tidak akan pernah ada.
Seandainya pun Romawi ada sejarah peradaban kebesarannya tidak semegah apabila
inperium itu tidak memilikiorang-orang besar. Pemikiran Machiavelli ini mirip
dengan tesis sejarawan terkemuka inggris, Thomas Carlyle yang berendapat bahwa
sejarah tidaklain merupakanhj riwayat hidup (biography) orang-orang besar (great
men) atau pahlawan (heroes) tanpa
mereka tidakakan ada sejarah.[13]
Montesquieu
lebih jauh mengungkapkan bahwa sebab kejayaan dan kejatuhan Romawi. Oleh karena
watak mereka yang suka berperang dan membunuh. Watak itu ditunjang oleh
kegigihan orang Romawi berlatih kemilitiran sehingga rakyat dan penguasa Romawi
merupakan kaum militer professional. Mereka mahir, tidak hanya dalam mengatur
stategi berperang tapi juga mempergunakan senjata. Profesionalisme kemiliteran
inilah yang membuat imperium romawi memiliki semangat luar biasa menaklukkan
bangsa-bangsa yang ada disekitar imperium. Mereka menjarah, merampok, mencaplok
tanah-tanah rakyat dan wanita-wanita negeri taklukkan.[14]
Dengan cara itulah imperium Romawi melakukan ekspansi teritorial. Imperium
Romawi menjadi suatu territorial kekuasaan yang demikian luas.
Menurut
Montesquieu faktor moral juga cukup berpengaruh terhadap proses kejatuhan
Romawi. Kekejaman, kebiadaban dan kebrutalan para jenderal militer atau kaisar
telah membuat rakyat tertindas. Rakyat yang tertindas, islam berupaya mencari
cela untuk menjatuhkan penguasa. Mereka memanfaatkan saat saat krisis untuk
menjatuhkan pemerintah kaisar. Perlawanan rakyat dari dalam, dan kemudian
diiringi oleh serangan brutal suku
bangsa di sekitar imperium membuat imperium romawi tak mampu bertahan.
Dan itulah yang terjadi ketika kaum ghotik kemudian disusul Persia menyerang
Romawi, imperium ini hancur. Romawi yang merupakan “Negara adijaya” (
superpower ) hancur berkeping-keping dan menjadi “ tengkorak sejarah”. Kini di
abad modern, kita hanya bias meyakinkan sisa – sisa kebesaran bangsa itu
melalui bangunan-bangunan bersejarahnya, seperti koloseum atau karya-karya seni
zaman itu.
Surat-surat Persia
Karya The Persian Letters (
Surat-surat Persia)[15]
merefleksikan melanjutkan semangat Abad pencerahan yang memadukan reionalisme
Descartes, empirisisme Locke dan sketisme pierre Bayle.[16]
Meskipun karya ini lebih cocok disebut karya satire atau novel yang sepenuhnya
atau fiktif belaka, isinya tidaklah sesederhana seperti banyak terdapat dalam
karya sejenis. Surat-surat Persia ditulis Montesquieu berdasarkan pengamatannya
yang jeli terhadap kehidupan sosial sehari-hari, pemuka agama dan penguasa
negerinya. Karya ini juga penuh nuansa pemikiran serius mengenai politik,
sosiologi, sejarah dan agama. Disinilah terletak keunikan tulisan Montesquieu
tersebut.
Surat-surat
Persia diterbitkan anonym (tanpa nama pengarang) tahun 1721 di Amsterdam
(belanda). Montesquieu sebagaimana locke, merasa perlu mengidentifikasikan
sebagai penulis karyanya demi menghindari kemungkinan pembreidelan atau bahkan
ancaman atau bahkan ancaman keras dari kekuasaan despotisme perancis. Kekuasaan
despotisme tidak memperkenankan karya – karya subversive seperti surat-surat
Persia atau kontrak sosial locke beredar bebas luar di Negara penulis
bersangkutan. Meskipun demikian, pelarangan itu justru membuat karya Montesquieu dicari orang dan nampaknya
pelarangan itu tidak efektif karena ternyata karya Montesquieu diselundupkan secara illegal.
Usbek
( nama suku Usbekistan ), dituliskan watak dan kepribadiannya oleh Montesquieu
sebagai muslim ortodoks yang taat yang melaksanakan ritual aneh seperti yang
dilakukan orang Kristen. Usbek cerdas dan memiliki motivasi kuat dan mencari
pengalaman dan pengetahuan di negeri asing.[17]
Tapi ia seorang despotik yang memiliki banyak harem (istri-istri simpanan)
dibelakang rumahnya. Dengan harem-haremnya itulah ia memuaskan nafsu birahinya
selama hidup di pasri. Usbek juga mengetahui kesalahan orang dan negeri lain,
tapi kurang menyadari kesalahannya sendiri.[18]
Rica, sahabatnya dilukiskan sebagai seorang periang, pandai membuat sketsa
watak tokoh-tokoh tertentu, berusia lebih muda dari Usbek, tidak memiliki harem
gampang menyesuaikan diri dan humoris serta menyukai pengalaman baru.
Sebagai
perantau yang hidup di perancis Usbek mengamati berbagai sisi kehidupan orang
perancis. Melalui dua tokoh fiktif itu, Montesqueiu mengeritik tajam adat
kebiasaan, gaya hidup, hubungan kekuasaan politik dan agama. Mengenai kebiasaan
adat kebiasaan orang perancis, misalnya, Usbek dan Rica, mengemukakan rasa
keheranannya mengapa orang di Negara itu suka memotong rambutnya dan
menggantinya dengan rambut palsu.[19]
Selain penuh Kritik, karya ini juga berisi cerita-cerita jenaka. Melalui surat-surat
Rica, Montesquieu menceritakan kisah tentang seorang ahli kimia yang sedang
dilanda birahi, wanita yang mengaku usianya sama dengan usia anaknya,
pengangguran dan juri yang angkuh, pesolek muda yang cerdik, kalangan
berpendidikan tolol, laki-laki borjuis yang kaya yang sibuk mengurusi garis
keturunannya, serta para sarjana yang kesombongan intelektualnya sama dengan
kecilnya bakat mereka dan kisah-kisah jenaka lainnya.[20]
Di
sini Montesquieu mengkritik Depotisme seksual, yang seakan diidentikkan dengan
agama yang dianut Usbek. Tradisi harem merupakan sebuah kejahatan despotis
karena ia mendiskriminasi hak-hak perempuan dan menindas mereka. Perempuan
tidak memiliki kebebasan sebagaimana yang dimiliki seorang laki-laki. Segala tingkah
lakunya ditentukan oleh laki-laki. Perempuan tidak menjadi dirinya sendiri,
melainkan menjadi orang lain yang dikehendaki laki-laki pemiliknya. Dengan
menekan kebebasan manusia, Despotisme semacam itu menurut Montesquieu
menghancurkan hakikat kemanusiaan.[21]
Melalui
pelukisan watak Usbek, Montesauieu menentang segala bentuk Despotisme. Termasuk
konsep Despotisme yang tercerahkan (enlightened despotism) ia mengkritik
Despotisme jenis ini mengandung cacat-cacat teoritis. Montesquieu tidak percaya
bahwa Despotisme yang tercerahkan itu mampu melakukan transformasi masyarakat
Perancis ke ara pembentukan struktur sosial yang lebih baik. Despotism apapun
bentuknya, tetap akan selalu menindas rasionalitas dan kebebasan berfikir dan
menyebabkan terjadinya penindasan manusia yang membinasakan.[22]
Islam, juga Kristen dilihat Montesquieu sebagai agama yang mengajarkan
fatalism. Para pengikut kedua agama diajarkan agar patuh dan pasrah sepenuhnya
kepada Tuhan. Hal ini menurut Montesquieu membuat para penganut agama itu
fatalis dan tidak aktif berbuat sesuatu dalam hidup mereka.[23]
Politik
Tiga
Pilar Supra Struktur, apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan
pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa yang sama tidaklah mungkin
ada suatu kemerdekaan, tidak juga dapat tegak kemerdekaan bila kekuasaan
yudikatif tidak dipisahkan dengan lembaga eksekutif dan legislative.
Penggabungan tiga pilar suprastuktur hanya memberikan penguasa Negara dengan
pengelolaan negara sesuka hati, dan hakim akan menjadi bagian yang turut membuat
undang-undang. Apabila
kekuasaan mengadili digabungkan dengan pelaksana pemerintahan, maka yang
terjadi adalah kekerasan dan penindasan. Maka akan berakhir segala-galanya bila
yang mengelola adalah orang yang sama atau badan yang sama.[24] Sebab itu masing-masing
pilar itu saling mengawasi serta menghambat kemungkinan penyelewengan. Bagi
Montesquieu, cara seperti ini tidak akan memacetkan kerja pemerintahan, sebab
kehidupan dan masalah manusia akan mendesakkan ketiga kekuasaan itu bergerak
dan tidak tinggal diam, dengan gerak bersesuai atau sejalan di antara ketiganya.[25]
Pembagian
kekuasaan (disktribution of power) bukan berarti pemisahan kekuasaan secara
mutlak (separation of power), sebab masih adanya saling pengaruh antara
badan-badan yang mengendalikan masing-masing pilar supra-sturktur politik
tersebut. Saling mempengaruhi, ada titik singgung dalam pekerjaan masing-masing
dalam batas-batas tertentu. Untuk sebagai contoh, negara yang menganut paham
Trias Politika dari ajaran Mountesquieu adalah Amerika Serikat, selain
negeri-negeri Barat lainnya. Dengan demikian, pendekatan Konstitusional
demikian penting dalam mengatur pemerintahan dalam pemikiran Montesquieu.[26] Montesquieu seorang
konstitusionalis. Di Inggris pembagian kewenangan dalam legislative adalah
antara House of Common (Lower House) dan House of Lord (Upper House). Para
wakil rakyat tidak terikat dengan titipan tugas dan petunjuk dari pemilih.[27]
Legislatif,
kekuasaan ini harus terletak pada seluruh rakyat, tetapi tidak mungkin
terlaksana dalam wilayah yang luas daerahnya, untuk negara yang kecil pun ini
menghadapi masalah dengan berbagai persoalan. Untuk hal itu pelaksanaannya
diperlukan oleh wakil-wakil rakyat, adanya perwakilan rakyat akan memungkinkan
pembicaraan masalah itu dengan lebih memuaskan. Montesquieu, merepresentasikan
keterwakilan tidak secara homogeny, ia memiliki pandangan bahwa perlu adanya
pengakuan terhadap golongan bangsawan dengan menempatkan perwakilan terbagi
dua, yakni dari kalangan bangsawan[28] dan rakyat biasa, dan
masing-masing perwakilan itu dapat bekerja atas persetujuan salah satunya. Ini
kemudian disebut dengan kamar (kamer: bahasa Belanda). Masing-masing memiliki
veto atas lainnya.[29] Rakyat dalam pengertian
berdaulat yang dimaksud Montesquieu adalah berupa Dewan Rakyat bukan
orang-orang yang mewakili rakyat. Mereka bukanlah wakil rakyat seperti yang
dipahami pada umumnya sekarang. Dewan rakyat dalam pengertiannya semacam dewan
yang terdapat dalam zaman Yunani dan Romawi Kuno.[30] Berperan sebagai mediator
rakyat dengan penguasa, sebagai komunikator serta aggregator aspirasi dari
kepentingan orang banyak.
Dengan
demikian, pembagian kekuasaan legislative dan eksekutif menurut perumusan
Montesquieu dalam demokrasi parlementer modern diganti oleh dualism antara
partai pemerintah dengan oposisi. Akan tetapi, dalam pola apapun pembagian
kekuasaan dilandasi pengertian bahwa kebebasan dalam suatu masyarakat hanya
dapat dijamin, dimana terdapat suatu plurarisme serta keseimbangan kekuatan sosial.[31]
Tipe
pemerintahan, Montesquieu menyebutkan adanya perbedaan tipe, yakni republik, monarki, dan
despotism, yang dijelaskan sebagai berikut:
Republik,
ini dihubungkan erat dengan demokrasi, rakyat berpegang pada kebajikan, dan
baginya ini adalah kejujuran, patriotism, dan kecintaan terhadap persamaan.
Persamaan sangatlah penting, sebab ini yang melahirkan perasaan bahagia dan
harapan serta dapat membatasi keinginan perorangan dan kebahagiaan diri. Rakyat
memiliki kekuasaan tertinggi, yakni demokrasi, dalam demokrasi rakyat berdaulat
dalam hal tertentu dan merupakan kaula dalam hal tertentu. Tidak ada
penyelenggaraan kedaulatan kecuali dengan hak pilih rakyat yang merupakan
kemauan sendiri, maka kemauan penguasa berdaulat (sovereign) adalah penguasa itu
sendiri dan hukum yang menetapkan hak untuk memilih merupakan dasar bagi
pemerintahan ini.[32] Di mata Montesquieu
bentuk republic merupakan yang terbaik, sebab rakyat pemegang kedaulatan
tertinggi. Bentuk republic inilah rakyat dituntut untuk berbuat kebajikan suatu
keutamaan. Istilah kebajikan ini tidak mengacu kepada moralitas, melainkan
politik; yaitu adanya semangat untuk menghormati hukum negara dan mengabdikan
diri sepenuhnya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semua warga negara
diperlakukan sama di hadapan hukum, maka di dalam negara republic dikenal asas
kesamaan derajat di antara warga negara. Hancurnya system Republik disebabkan
oleh beberapa hal: timbulnya semangat kebersamaan yang ekstrem. Apabila setiap
masyarakat merasa sederajat dengan penguasa yang memerintah negara, akibatnya
rasa hormat atasan atau penguasa negara lenyap; mendebat senat semena-mena dan
menggantikan pejabat kehakiman; kekeliruan makna kebebasan – tak ada rasa
hormat dan etika dalam pola hubungan di tengah masyarakat; merajalelanya
korupsi.[33]
Monarki,
pada tipe ini kehormatanlah yang jadi pegangan. Sedangkan ambisi memberikan
pengaruh terhadap semangat bagi pemerintah. Soal bahaya ambisi dapat dihambat
dengan system pengawasan melalui tiga macam supra-struktur politik dalam
pemerintahan.[34]Dalam
monarki kekuasaan diperintah beberapa orang aristokrasi (bangsawan, atau
seorang penguasa). Bentuk negara ini tidak buruk bila penguasa menghormati
hukum, rakyat dan hak istimewa kalangan bangsawan. Apabila tidak maka monarki
ini akan terjebak ke dalam bentuk negara despotis. Hilangnya rasa hormat akan
berpengaruh pada negara, yakni negara akan rusak dan sulit berfungsi
sebagaimana mestinya bila hak bangsawan itu dicabut. Baginya memiliki pandangan
bahwa manusia memang memiliki perbedaan, ada yang lebih cerdas dan lebih
terhormat dari yang lainnya. Model negara monarki, Montesquieu mengacu pada
monarki yang terdapat di Eropa, khususnya di Inggris dan Prancis.[35] Rusaknya negara monarki
apabila kaum bangsawan seweneang-wenang melanggar hukum, prinsip-prinsip
kenegaraan dilanggar, melakukan perubahan-perubahan tradisi yang telah mapan,
penguasa memiliki egosentris yang demikian kuat menyamakan ibu kota negara
dengan negara, dan menyalagunakan wewenang terhadap rasa cinta kepada rakyat
serta tidak percaya bahwa dirinya aman merupakan factor lain yang dapat
menghancurkan monarki.[36]
Despotisme,
masyarakat yang berdasar despotism akan melahirkan rasa takut, disebabkan
gangguan dari si despot, yakni penguasa yang sewenang-wenang. Yang jelas Montesquieu,
menolak despotism dalam Trias politiknya.[37]
Despoti merupakan bentuk negara terburuk. Sebuah negara yang diperintah oleh
satu orang yang menentukan segala sesuatu dengan atas dasar kemauannya sendiri.
Pola kekuasaan yang berkembang didasarkan atas ambisi, kepicikan, ketakutan,
ingin kaya tanpa usaha, suka akan sanjungan, pengkhianatan dan memandang rendah
apa yang dikenal dengan kewajiban kenegaraan. Sebuah negara yang menjalankan
roda kekuasaannya dengan otoriter. Namun di hadapan penguasa despotis agama
menjadi factor penting untuk diperhitungkan-mereka berhati-hati untuk melakukan
tindakan yang bertentangan dengan agama. Montesquieu member contoh sejumlah
negara despotis yang ada di Asia, seperti Cina, Jepang dan India, dimana Aron
menggambarkan negara despotis itu suatu negara yang melakukan penghambaan
dengan kedudukan penguasa yang mutlak dengan tanpa hukum dan undang-undang
untuk menjalankan pemerintahannya, tidak ada kelas sosial yang memberikan
keseimbangan, tidak ada tatanan serta kewajiban yang sama. Negara hanya diatur
oleh seorang yang segala bisa dengan menanamkan ketakutan kepada jutaan orang.[38]
BAB III
PENUTUP
Doktrin trias politika ini untuk
pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu
(1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. John
Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises
on Civil Government yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan
absolut. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu :
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang
masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah
kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah
kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan
mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan
untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat
aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri). Beberapa
puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu
mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois
(The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari raja-raja Bourbon, dia
ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih
terjamin haknya. Dalam uraian dia membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga
cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
yudikatif.
Menurut
dia tiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan.
Terutama adanya kebebasaan badan yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu,
oleh karena disinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu
dijamin dan dipertaruhkan. Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan
untuk membuat undang-undang kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan
undang-undang, sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang. Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang
kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri.
Hal
ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim,
Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan
pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang
disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan
eksekutif. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin,
jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi
oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: “Kalau kekuasaan
legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu
badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan
ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan
itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan
keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara
individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan
jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari
penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan
pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhelmi,
Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : Gramedia, 2007.
Hardiman, F
Budi. Pemikiran-pemikiran yang membentuk
Dunia Modern. Jakarta: Erlangga, 2011.
Syam, Firdaus. Pemikiran Politik Barat (Sejarah, filsafat,
Ideologi, dan pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3). Jakarta: PT Bumi Aksara,
2007.
[1] Ahmad Suhelmi, op.cit, hlm 217
[2] Magnes Suseno Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta, Gramedia, 1991, hlm. 225.
[3] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat,
Bandung, Mirzan, 1999, hlm 135.
[4] Deliar Noer, Ibid, hlm. 137.
[5] Ibid, hlm.139.
[6] Ibid
[7] Ahmad Suhelmi, op.cit, hlm. 218.
[8] Montesquieu mengatakan bahwa
semasa pemerintah Konstantin, ia telah berhasil mengurangi kegiatan pertarungan
gladiator yang biadab, tetapi secara keseluruhan usahanya memperbaiki moral
jauh dikatakan berhasil. Ibid, hlm.
219-220.
[9] Kata pengantar Imam dalam
Montesquieu, Membatasi..., op.cit,
hlm. 22.
[10] Tampaknya Montesquieu belum
mampu melepaskan dirinya dari sikap Xeopobia abad pertengahan terhadap Islam.
Ia berbeda dengan pemikir besar Eropa lainnya seperti Gibbon, ia tampak jauh
lebih obyektif dibandingkan dengan Montesquieu. Gibbon selalu mengkritik Islam
dengan tajam, tetapi mengakui kebesaran agama dan Rasul Muhammad. Ahmad
Suhelmi, op.cit, 225.
[11] Lihat Edward Gibbon, History of
Decline and Fall of The Roman Empire, London: J.M. Dent and Sons, 1945.
[12] Shklar, Montesquieu, op. cit,
hal 75
[13] Lihat, Carlyle, Hero and Hero
Worship, n.p., 1965.
[14] Ini factor penting mengapa
rakyat negeri taklukkan memendam kebencian dan dendam berkepanjangan terhadap
bangsa Romawi. Perlawanan-perlawanan bersenjata terhadap sang penakluk pun
sering terjadi. Misalnya yang terjadi di tanah Palestina di abad-abad pertama
Masehi: ketika tanah Palestina dan sekitarnya jatuh ke tangan tentara Muslim
(masa khalifah Umar Ibnu Khattab), abad VII M, dan tentara Romawi berhasil
dipukul mundur, system kekuasaan yang menindas dan intimidatif digantikan oleh
system kekuasaan yang demokratis dan toleran. Di bawah kekuasaan imperium
Islam, rakyat Palestina merasa terayomi, terjamin hak-hak asasinya, dilindungi
harta dan jiwanya ketimbang saat dikuasai orang-orang Romawi yang justru
seagama dengan mereka. Kenyataan historis ini diakui para sejarawan seperti
William Muir, Gibbon, dan Bernard Lewis. Mengenai toleransi kekuasaan Islam
atas negeri-negeri taklukkan dan penduduknya (kaum minoritas, al ahlu al
dzimmy), lihat Yusuf Qordhowy, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam,
terj. M. Al-Baqir, Bandung: Mizan, 1994.
[15] Karya asli Montesquieu ini dalam
bahasa Perancis, Lettre Persane, Paris: Garnier Flammarion, 1964, terjemahan
dalam bahasa Indonesia, Surat-surat Persia, terjemahan, Jakarta: Dian Rakyat,
1992.
[16] Anchor, The Enlightenment
Tradition, University of California Press: Berkeley, Los Angeles and London,
1979, hal.37.
[17] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan
Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, Jakarta:Gramedia, 1993, hal.4
[18] Lukisan Montesquieu tentang
fitur Usbek bermakna simbolik bahwa seorang Muslim taat memiliki kecenderungan
depotik yang kuat, menganut prinsip poligami (memiliki banyak istri) dan
pengumbar nafsu birahi. Ini merupakan bias Orientalisme barat terhadap Islam di
masa-masa awal perkembangan kajian-kajian ketimuran di Barat.
[19] Kata Pengantar Imam, dalam
Montesquieu, Ibid, hal ix.
[20] Shklar, Montesquieu, op.cit., hal
71.
[21] Ancho, The Enlightenment,
op.cit., hal 71.
[22] Shklar, Montesquieu, op. cit.,
hal 48.
[23] Ibid, hal 59.
[24] Deliar Noer, Ibid, hlm.136
[25] Ibid, hlm.137
[26] Manfaat Konstitusi yang
dikemukakan renaisans ini juga ada pengaruhnya dari karya-karya Polybius bahwa
konstitusi UUD dapat menyelamatkan negara apapun bentuk negara bersangkutan.
Kosntitusi bentuk negara Republik Romawi diyakini telah berhasil mencegah
republik ini dari kehancuran total. Lihat Ahmad Suhelmi, op.cit.137.
[27] Magnis Suseno, op.cit,hlm.225-226
[28] Dengan adanya kalangan bangsawan
itulah menurut Montesquieu, parlemen menjadi lebih ideal dalam melakukan
tugas-tugas kenegaraan, adanya “Dua kamar” itu memungkinkan terjadinya check and balance
[29] Deliar Noer. Op.cit,hlm.137.
[30] Arom, Main Carrent in Sosiological Thought, I Moddlesex, England, Penguin
Book, 1974.
[31] Magnis Suseno, op.cit.hlm.226
[32] Deliar Noer, op.cit. hlm.139 dan 141.
[33] Ahmad Suhelmi.op.cit, hlm 233.
[34] Deliar Noer, op.cit.
[35] Montesquieu, membatasi kekuasaan
telah Mengenai Jiwa Undang-undang, Jakarta, Gramedia,1993. Hlm.34-35.
[36] Ibid.hlm. 38-39.
[37] Deliar Noer, op.cit.
[38] Aron, Main Current,op.cit,hlm.
28-29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar