Minggu, 13 Januari 2013

KERAJAAN MATARAM PADA STRUKTUR DAN BIDANG BIROKRASI TAHUN 500 MASEHI HINGGA 700 MASEHI




1. Latar belakang
            Paper yang telah saya susun ini berisi tentang kearajaan Mataram, tidaklah benar sama sekali kalau saya menduga bahwa untuk selanjutnya dapat mengikuti sejarah kerajaan-kerajan Indonesia-Hindu. Setelah masa pemerintahan raja Purnawarman untuk waktu yang cukup lama tidak mendengar keterangan oleh apapun juga adalah tidak mungkin suatu negeri yang sudah mempunyai masyarakat yang teratur [1], tiba-tiba lenyap sama sekali. Hal yang serupa juga ditemui di Kutai, selain Yupa Mulawarman untuk selanjutnya tidak mengetahui keadaan disitu, bahkan peradaban Hindu yang telah berkembang di kedua daerah tersebut seolah-olah hilang sama sekali.
            Di desa Dakawu, Kawedanan Grabag, dilereng barat gunung merapi dijumpai prasasti tak berangka tahun.[2] Prasasti ini berhuruf Pallawa tetapi bentuknya msih mudah dari huruf Pallawa yang dipakai oleh Raja Purnawarman. Melihat bentuk hurufnya dapat diperkirakan bahwa prasasti tadi berasal dari sekitar tahun 500 Masehi. Sedangkan bahasa yang dipakai bahasa Sanskerta. Pada batunya juga terdapat gambar-gambar alat-alat yang biasa dipakai didalam uapacara keagamaan seperti : kendi, kamapak, kalasangka, dsb, juga gambar roda dan tanjung yang sedang mekar.
            Dalam sejarah Dinasti T’ang kuna (618-906) buku 197 dan buku 222 bagian 2 [3] memperoleh gambaran sedikit tentang Ho-lling ini. Dalam kitab itu diktakan bahwa:
            Ho-lling terletak di sebuah pulau di laut selatan, disebelah timurnya terletak Dwa-pa-tan. Tetapi yang sangat menarik perhatian orang cina rupa-rupanya ialah bahwa orang Ho-lling kalau makan tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan dengan tangannya saja. Pada tahun 674 Masehi Jawa diperintah oleh seorang raja perempuan, bernama Si-mo. Ia memerintah negerinya sangat keras. Kemudian ada lagi berita dari seorang pendeta cina yang bernama I-tsing, bahwa pada masa itu orang-orang akan berjiarah ke tempat-tempat suci agama budha di Hindustan, berangkat atau pulangnya singgah di Jawa. Tahun 664 Masehi Hwui-ning datang ke tanah Jawa untuk menerjemahkan salah satu kitab agama Budha bersama-sama dengan seorang pendeta Ho-lling yang bernama Jah-na-po-t’o-lo (Jnanabhadra).
            Prasasti-prasati yang telah ditemukan di jawa tengah dan di keluarkan oleh raja Shailendra yang berangkat tahun 778 M hingga kira-kira abad ke- 9 M, menunjukkan bahwa raja-raja Shailendra memeluk agama budha, terutama aliran Mahayana pada masa akhir perkembangannya. Demikian pula bangunan-bangunan seperti Borobudur, Mendut, Sewu dan lain-lainnya, ada hubungannya dengan raja Shailendra yang beragama Budha ini. Sarjana menduga bahwa ada dua dinasti yang memerintah di Jawa Tengah dari abad ke- 8 hingga permulaan abad ke- 10 Masehi [4]. Prtasasti Sojomerto disebutkan seorang yang bernama dapunta Shailendra, bersama-sama dengan ibu, ayah dan istrinya. Melihat namanya itu M. Buchari menduga bahwa ia mungkin merupakan, vamsakara dari dinasti Sailendra dan sebagai akibatnya asal usul Sailendra harusnya dicari bukan diluar Indonesia.[5] Dugaan m. Buchari dapat di buktikan kebenarannya, kesimpulannya ialah Sailendra adalah penduduk asli Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa Dapunta Sailendra mempergunakan bahasa Melayu Kuna di dalam prasastinya.

2. Pembahasan
            1. Raja-raja Mataram
            Isi prasati yang menyebutkan tentang pendirian Lingga [6] di pulau Jawa, yang kaya akan padi dan emas, di Desa Kujarakunja, oleh Raja Sanjaya. Pulau Jawa (Yawadwipa)[7] ini mula-mula diperintah raja Sanna. Ia memerintah dengan kehalusan budi dan kebijaksanaan dalam waktu yang lama. Raja Sanna dan Sanjaya dikenal pula dalam kitab Carita Parahyangan yaitu sebuah kitab dari jaman yang kemudian menguaraikan ceriata jaman Pasunda. Prasasti Mantyasih[8] dikelurakan oleh raja Rake Watukura Dyha Balitung.
            Bagaimana hubungan kerajaan Kanjuruhan dengan kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah tidak diketahui dengan jelas. Mengenai hal ini R.M.Ng. Poerbatjaraka diadalam bukunya riwayat Indonesia I memberikan uraian tentang pememindahan keraton itu ialah bernama Sang kiyen, nenek moyang seorang raja djawa jang bertachta (di Jawa Tengah?) kira-kira diantara tahun 828 Caka didalam kabar Tionghoa itu tentu sang Gajayana. Sang Gajayana atau Kiyen memindahkan keratonnya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yakni dekat Malang dan dekat keraton baru ia pada tahun 682 Caka membuat candi Agastya. Pendapat Poerbajaraka mengatakan bahwa hanya dinasti satu saja yang ada di Jawa Tengah. Mulanya Sailendra beragama Siwa tetpi karena sebuah sebab Sanjaya menyuruh anakanya Rakai Panangkaran untuk meninggalkan kepercyanaan nenek moyangnya dan menjadi seorang yang beragama Budha.
            Prasasti Kelurak yang berangka tahun 704 S. Prasasti ini diketemukan di daerah Prambanan, ditulis dengan huruf Pre-Ngari dalam bahasa sanskerta.[9] Kedua dinasti itu ialah keturunan Sanjaya yang beragama Siwa dan keturunan Saeilendra beragama Budha. J.G. de Casparis melihat bahawa para prasasti Siwagrha yang memperingati akhir pertempuran antara Rakai Pikatan dan Balaiputra yang menurut prasasti Nalanda adalah raja di Sriwijaya sebagai akibat kemengan Rakai Pikatan. Penemu prasasti yang bersifat Siwaistis di Desa Sojomerto disusun dalam bahasa melayu kuno dapat diidentifikasikan sebagai Vancakara dari dinasti Sailendra. Daksa adalah saudara Balitung. Yang sebenarnya bukan orang yang berhak atas tahta kerajaan, ia dapat naik tahta karena perkawinan, seperti yang dapat dibayangkan dari prasasti Mantyasih tahun 829 Saka. Mungkin sekali Saka ialah saudara istri Balitung atau anak raja yang memperintah sebelum Balitung. Gelar Sri yang dipakai Daksa waktu ia masih menduduki pangkat rakryan mahamantri i hino memperkuat dugaan tersebut. Balitung dapat naik tahta kerajaan mungkin karena kegagahberaniannya seperti yang diketahui ia merupakan raja yang pertama memerintah daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wawah adik Rakryan manak yang telah membuat keributan dengan menculik anak Sri Maharaja Rakelokapala yang bernama Dyah Bhumijaya. Raja Wawa saat pemerintahannya berakhir oleh suatu bencana, mungkin sekali karena gunung merapi seperti yang dikemukakan oleh para ahli Geologi R.W. Van Bemmelen. Dan digantikan oleh Pu Sindok cucu dari Raja Daksa. Permaisuri Sindok bernama Sri Parameswari Sriwardhani Pu Kbi. Prasasti-prsastinya merupakan sumber penting bagi penelitian tentang organisasi dan lembaga pemerintahan di Jawa. Pemerintahan Pu Sindok berjalan aman dan tentram dapat dilihat dari usaha-usaha sosial yang dilakukannya. Karena Jemu mengalami bebagai kesulitan dan juga setelah mengalami letusan gunung merapi Pu Sindok memindahkan pusat kekuasaannya ke Jawa Timur antara lain dalam prasasti Anjukladang, prasasti prada dan batu tulis dari daerah Surabaya tentang prasada kabhaktyan i panurumbikyan.
            Pengganti dari wakutawangsawardhana ialah Sri Damawangsa Tguh Anantawikramatunggadewa[10] dan Stutterheim[11] Dharmawangsa anak dari Wakuta-wangsawardhana, dengan demikian Dharmawangsa kaka dari Mahendradatta. Tetapi mungkin juga berasal dari keluarga Dharma yang karena perkawinan menjadi kakak Mahendradatta. Dalam tahu 938 S kerajaan Dharmawangsa sekonyong-konyong mengalami pralaya[12]. Raja sendiri beserta pasa pembesar negara tewas, dan seluruh jawa bagaikan lautan api. Pada waktu itu di istana sedang diadakan pesta perkawinan putri Dharmawangsa dengan Airlangga. Kerajaan Janggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang dan Pasuruhan. Ibukotanya Kahuripan, ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan Panjalu yang kemudian dikenal dengan nama Kadiri, meliputi daerah Kediri dan Madiun. Ibukotanya Daha, yang mungkin adalah Kediri sekarang. Drs. Mencoba membuktikan bahwa fungsi/kedudukan rakryan mahamantri i hino dipegang purta/putri mahkota. Selama masa pemerintahan Airlangga jabatan dipegang oleh Sri Sanggramawijaya Dharmaprasadottunggadewi.
            Setelah 58 tahun pemerintahan Samarotsaha di Janggala memperoleh keterangan tentang kerajaan Pandalu atau Kadiri. Raja pertama yakni Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Prameswarasakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayo-tunggadewa, antara lain dari para prasasti Padlegang I yang berangka tahun 1038 S. Kemudian raja ini berturut-turut mengeluarkan sebuah prasasti yaitu :
1.      Prasasti Panumbangan tahun 1042 S
2.      Prasasti Geneng tahun 1050 S
3.      Prasasti Candi Tuban 1052 S
4.      Prasasti Tangkilan tahun 1052 S
Salah satu prasasti dari raja Jayabhaya yang menarik perhatian yaitu prsasti Talan tahun 1058 isinya tentang pemindahan prasasti Ripta tahun 961 S menjadi prasasti Linggopala oleh raja Jayabhaya.

2. Struktur Kerajaan dan Birokrasi
Kerajaan yang meliputi daerah yang cukup luas dan telah meninggalkan beberapa monumen agama yang besar sudah jelas bukan sebuah kerajaan yang kurang teratur. Prasasti-prasasti yang ada dari jaman Mataram adalah bukti adanya tata-pemerintahan yang ditunjang oleh suatu birokrasi yang teratur dan memelihara catatan. Schrieke bahkan memberikan gambaran bahwa dalam lingkungan daerah para rakai tumbuh suatu budaya yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Mungkin beberapa hal yang menarik dari budaya keraton Sri Maharaja ditiru dan umumnya mereka mempunyai ciri mereka sendiri.[13] Peristiwa serangan terhadap kraton Dharmawangsa pada saat perkawinan Airlangga, oleh Boechari di tafsirkan sebagai serangan seorang rakai terhadap istana maharajanya.[14] Peninggalan-peninggalan jelas menunjukkan bahwa masyarakat pada jaman itu adalah suatu masyarakat indonesia yang telah menyerap unsur budaya India baik agama Budha maupun Hindhu dalam tambo dinasti T’ang pada abad ke 10 disebutkan bahwa Ho-ling disebut Cho-po, Cho-po berarti jawa maka Ho-ling tentunya sebuah nama kerajaan di Jawa.

3. Keadaan Masyarakat
Batas-batas yang jelas dari daerah kerajaan Mataram tidak diketahui dengan pasti, tetapi tempat-tempat penemuan peninggalan dari jaman itu memberikan gambaran besar daerah jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Kerajaan ini berkembang antara abad ke-8 dan abad ke-11 masehi. Sebuah berita Cina yang mempertegas gambaran tersebut. Antara tahun 664 dan 665 seorang guru agama budha dari negeri Cina yang bernama Hwui-ning datang ke Jawa dan tinggal selam 3 tahun. Ia menterjemahkan bagian-bagian dari kitab agama[15] bersama dengan seorang pendeta dari Ho-ling sendiri yang bernama Joh-na-poh-t’o-lo. Agama Budha Ho-ling yang dianutpada masa itu adalah agama Budha Hinayana. Dalam prasasti Kelurak yang memperingati didirikannya sebuah arca Manjusri pada tahun 782, Dhyani Bodhisatwa tersebut disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara.[16] Bahkan salah satu puteri Sindok memeluk agama Budha. Suatu masyarakat yang menganut agama Hindhu pasti mengenal Kasta. Juga masyarakat kerajaan Mataram mengenlanya. Hal ini disebut dalam prsasti.[17]tetapi dari isi berbagai prasasti timbul kesan bahwa peraturan Kasta tidak dijalankan seperti di India. Kasta pada masa itu hanya dianggap sebagai suatu kerangka pembagian masyarkat menurut ajaran agama Hindhu. Namun kenyataanya masyarakat berjalan menurut tata sosial dan budaya Indonesia yang telah ada sejak sebelum kedatangan pengaruh agama Hindhu. Ada pendapat bahwa hubungan Indonesia dengan Cina mula-mula dimuali dari hubungan pelayaran artinya orang-orang Indonesia datang dengan perahu atau kapa-kapal mereka dipelabuhan Cina. Hal ini bahwa mereka telah melakukan perdagangan. Menurut pendapat tersebut orang Indonesia datang sebagai pengangkut barang dagangan pedagang bangsa lain seperti pedagang asia barat atau India. Lalu mengadakan hubungan perdagangan sendiri.

3.Kesimpulan
            Dari isi bebagai prasasti dapat disimpulakan bahwa kerajaan-kerajaan dijaman kuno tidak ada yang berbentuk negara dengan kekuasaan yang mutlak. Demikian pula kerajaan Mataram. Kerajaan-kerajaan yang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh para rakai atau Rakryan. Mereka adalah penguasa-penguasa daerah yang mempunyai otonomi yang cukup luas. Pada umumnya mereka mempunyai hubungan dengan keraton Sri Maharaja. Hal ini tidak perlu berarti bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Hubungan tersebut dapat disebabkan karena perkawinan. Dari keterangan yang masih jauh daripada lengkap mengenai struktur kerajaan dan birokrasi kerajaan Mataram, timbul gambaran sebuah kerajaan yang diatur dengan kecermatan dan birokrasi yang tertur. Hampir setiap prasasti merupakan kesaksiannya dan juga mengisyaratkan bahwa di Matarm dapa golongan elit yang memahami benar seluk-beluk pemerintaha dan administrasinya. Dalam pendahuluan yang telah diuraikan bahwa antara berbagi tempat di kepulauan indonesia sejak jaman prasejarah telah terdapat hubungan lalu lintas barang. Keadaan ini semakin meningkat setelah terdapat tempat-tempat yang mengadakan hubungan perdagangan dengan negeri lain antara lain Mataram. Didalam masyarakat Mataram terdapat cukup banyak orang asing tentu sangat menarik untuk berusaha mengetahui peranan orang-orang tersebut kecuali sebagian orang-orang india yang jelas berada dilingkungan agama.
            Mengingat bahwa masyarakat Mataram adalah masyarakat agraris, maka tentu keadaan dalam masyrakat bertumpuh pada unsur-unsur dan tata-nilai masyarkat demikian. Suatu hal yang menarik adalah lahirnya golongan yang berkuasa. Dalam nama para raja terdapat tiga unsur yaitu gelar rakai,  kemudian nama didahului dengan sebutan Pu atau Dya dan di susun dengan nama abieska dalam bahasa Sanskerta, walaupun unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam urutan lengkap di prasasti. Gelar rakai biasanya di susul dengan sebuah nama tempat. Misalnya rakai Garung. Nama garung sampai sekarang masih terdapat sebagai nama tempat di dekat Dieng. Letak nama tempat dibelakang gelar rakai raja-raja yang lain belum dapat di asosiasikan dengan nama tempat. Dan mungkin keluarga asal raja tersebut berkuasa di tempat itu bukan atas dasar tata-birokrasi kerajaan tetapi sebagai penguasa dalam struktur tradisionil yang bertumpuh pada masyarakat agraris. Dari uraian di atas jelas bahwa masih banyak hal yang mengenai keadaan jaman mataram yang belum di ketahui. Sejarah bukan hanya kisah raja-raja tetapi harus dapat mengungkapkan kehidupan rakyat biasa yang merupakan bagian terbesar dari penduduk.

4. Daftar Pustaka
Brades, J.L.A., Archaeologisch Onderzoek op Java en Madoera, II: Beschrijving Van Tjandi Singasari en Volkentooneel en van Panataran, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1909.
Krom, N.J., Hindoe-Javaansche Geschiendenis, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1931
Hall, D.G.E.A., History of South-East Asia, London, Macmillan, 1968 (Third Edition).
Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Jakarta, Bhatara, 1960.
Krom, N.J., “Sapta Prabhu”, TBG, 56,1914, hal.195-196
Brandes,J.L.A., “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”. (VBG LXII), 1920.
Casparis, prasasti Indonesia II, Goris, TBG 70, 1956, hal. 161.
Casparis, J.G.de “Historical Writing on Indonesia (Early Period)”, di dalam : D.G.E. Hall, ed Historians of South East Asia, London, Oxford, University Press, 1961, hal.121-163.
Buchari, Ken Arok: Anak Tunggal Ametung? “,Berita Antropologi, VII (20),1975, hal.56-69.



 Catatan kaki :
[1] Hal ini dibuktikan oleh pembuatan saluran untuk mengalirkan air ke laut sepanjang + 11 km (poerbatjaraka, riwayat Indonesia I, 14 catatan 2). Usaha pembuatan saluran air ini tentunya untuk ketentuan umum misalnya untuk menahan banjir atau mengairi sawah-sawah, dan tentu saja untuk melaksananakan hal ini diperlukan untuk suatu organisasi yang cukup teratur dan baik.
[2] Prasasti ini lebih dikenal dengan sebutan prasasti Tuk Mas.
[3] Geroeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, 12-15
[4] Vogel,” Het Koninkrijk Crivijaya”, BKI 75, 626-637, 1919;
  Bosch,” De Inscriptie van Keturak”, TBG LXVIII, 1-62, 1929;
  Naerssen,”The Cailendra Interregnum” India Antiqua, 249-253, 1947;
[5] An Old Malay Inscription at Palas Pasemah (South Lampung), 1972 paper yang belum diterbitkan, oleh Drs Buchari.
[6] Lingga adalah lambang dari Siwa. Dari prasasti Canggat ini dapat mengetahui bahwa agama yang dianut oleh Raja Sanjaya dan rakyatnya adalah agama Siwa. Walaupun disamping itu dalam prasasti ini juga disebut-disebut Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, tetapip yang jelas Dewa Siwa lah yang dianggap Dewa tertinggi, sebab penghormatan didalam parasasti ini lebih banyak ditujukan kepada Dewa Siwa.
[7] Yawadwipa ini disamakan dengan Semenanjung Malaya oleh Moens didalam karangannya “Sriwijaya, Yava en Kataha”, TBG, 77, 1948. 426-435 dan passim. Selanjutnya Sanjaya dianggap sebagai orang India yang memerintah di Semenanjung Malaya dan ia menyerang Java , dimana ia kemudian menjadi raja bawahan (vasal) dinasti Sailendra yang terusir dari Palembang oleh Sriwijaya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh K.A. Nilakantasastri dalam karangannya “Kataha”, JGIS, V, 1938, 128-146.
[8] Prasasti ini lebih dikenala dengan prasasti Keduh, dan dibicarakan oleh W.F. Stutterheim dengan judul” Een belangrijck oorkonden uit de Kedoe”, TBG, 67, 1927, 172-215 lihat juga R. Goris “de eenheid deer Mataramsche dynastie”, FBG, 1929, I, 202-206.
[9] Casparis, prasasti Indonesia II, 1956, 219; OJO VI; Goris, TBG 70, 1930, 161.
[10] Krom, HJG, 1931, 224-225
[11] Stutterheim, “Erlangga”, ..............h. 395 catatan 3.
[12] Kejadian ini disebutkan di dalam prasasti Punangan (Calcutta) yang dikeluarkan oleh raja Airlangga, OJO LXII, h. 137.
[13] B. Schrieke, indonesia sociological studies, the hague dan Bandung, 1957, hal 215-216.
[14] Boechari,” A Preliminary Note on The Study of the Indonesia, I, nomor 2, sept. 1963, hal. 128.
[15] Nama sebuah kitab suci Budha.
[16] N.J. Krom op.cit, hal 137.
[17] J.G. De Casparis, Inscripties uit de Cailendra-Tjid, Bandung, 1950, hal 108-117.

2 komentar: