1. Latar belakang
Paper
yang telah saya susun ini berisi tentang kearajaan Mataram, tidaklah benar sama
sekali kalau saya menduga bahwa untuk selanjutnya dapat mengikuti sejarah
kerajaan-kerajan Indonesia-Hindu. Setelah masa pemerintahan
raja Purnawarman untuk waktu yang cukup
lama
tidak mendengar keterangan oleh apapun juga adalah tidak mungkin suatu negeri
yang sudah mempunyai masyarakat yang teratur [1],
tiba-tiba lenyap sama sekali. Hal yang serupa juga ditemui di Kutai, selain
Yupa Mulawarman untuk selanjutnya tidak mengetahui keadaan disitu, bahkan
peradaban Hindu yang telah berkembang di kedua daerah tersebut seolah-olah
hilang sama sekali.
Di desa Dakawu, Kawedanan Grabag,
dilereng barat gunung merapi dijumpai prasasti tak berangka tahun.[2]
Prasasti ini berhuruf Pallawa tetapi bentuknya msih mudah dari huruf Pallawa
yang dipakai oleh Raja Purnawarman. Melihat bentuk hurufnya dapat diperkirakan
bahwa prasasti tadi berasal dari sekitar tahun 500 Masehi. Sedangkan bahasa
yang dipakai bahasa Sanskerta. Pada batunya juga terdapat gambar-gambar
alat-alat yang biasa dipakai didalam uapacara keagamaan seperti : kendi,
kamapak, kalasangka, dsb, juga gambar roda dan tanjung yang sedang mekar.
Dalam sejarah Dinasti T’ang kuna
(618-906) buku 197 dan buku 222 bagian 2 [3]
memperoleh gambaran sedikit tentang Ho-lling ini. Dalam kitab itu diktakan
bahwa:
Ho-lling terletak di sebuah pulau di
laut selatan, disebelah timurnya terletak Dwa-pa-tan. Tetapi yang sangat
menarik perhatian orang cina rupa-rupanya ialah bahwa orang Ho-lling kalau
makan tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan dengan tangannya saja.
Pada tahun 674 Masehi Jawa diperintah oleh seorang raja perempuan, bernama
Si-mo. Ia memerintah negerinya sangat keras. Kemudian ada lagi berita dari
seorang pendeta cina yang bernama I-tsing, bahwa pada masa itu orang-orang akan
berjiarah ke tempat-tempat suci agama budha di Hindustan, berangkat atau
pulangnya singgah di Jawa. Tahun 664 Masehi Hwui-ning datang ke tanah Jawa
untuk menerjemahkan salah satu kitab agama Budha bersama-sama dengan seorang
pendeta Ho-lling yang bernama Jah-na-po-t’o-lo (Jnanabhadra).
Prasasti-prasati yang telah
ditemukan di jawa tengah dan di keluarkan oleh raja Shailendra yang berangkat
tahun 778 M hingga kira-kira abad ke- 9 M, menunjukkan bahwa raja-raja
Shailendra memeluk agama budha, terutama aliran Mahayana pada masa akhir
perkembangannya. Demikian pula bangunan-bangunan seperti Borobudur, Mendut,
Sewu dan lain-lainnya, ada hubungannya dengan raja Shailendra yang beragama
Budha ini. Sarjana menduga bahwa ada dua dinasti yang memerintah di Jawa Tengah
dari abad ke- 8 hingga permulaan abad ke- 10 Masehi [4].
Prtasasti Sojomerto disebutkan seorang yang bernama dapunta Shailendra, bersama-sama dengan ibu, ayah dan istrinya.
Melihat namanya itu M. Buchari menduga bahwa ia mungkin merupakan, vamsakara dari dinasti Sailendra dan
sebagai akibatnya asal usul Sailendra harusnya dicari bukan diluar Indonesia.[5]
Dugaan m. Buchari dapat di buktikan kebenarannya, kesimpulannya ialah Sailendra
adalah penduduk asli Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa
Dapunta Sailendra mempergunakan bahasa Melayu Kuna di dalam prasastinya.
2. Pembahasan
1.
Raja-raja Mataram
Isi prasati yang menyebutkan tentang
pendirian Lingga [6]
di pulau Jawa, yang kaya akan padi dan emas, di Desa Kujarakunja, oleh Raja
Sanjaya. Pulau Jawa (Yawadwipa)[7]
ini mula-mula diperintah raja Sanna. Ia memerintah dengan kehalusan budi dan
kebijaksanaan dalam waktu yang lama. Raja Sanna dan Sanjaya dikenal pula dalam
kitab Carita Parahyangan yaitu sebuah kitab dari jaman yang kemudian
menguaraikan ceriata jaman Pasunda. Prasasti Mantyasih[8]
dikelurakan oleh raja Rake Watukura Dyha Balitung.
Bagaimana hubungan kerajaan
Kanjuruhan dengan kerajaan Sanjaya di Jawa Tengah tidak diketahui dengan jelas.
Mengenai hal ini R.M.Ng. Poerbatjaraka diadalam bukunya riwayat Indonesia I memberikan uraian tentang pememindahan keraton
itu ialah bernama Sang kiyen, nenek moyang seorang raja djawa jang bertachta
(di Jawa Tengah?) kira-kira diantara tahun 828 Caka didalam kabar Tionghoa itu
tentu sang Gajayana. Sang Gajayana atau Kiyen memindahkan keratonnya dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur yakni dekat Malang dan dekat keraton baru ia pada tahun
682 Caka membuat candi Agastya. Pendapat Poerbajaraka mengatakan bahwa hanya
dinasti satu saja yang ada di Jawa Tengah. Mulanya Sailendra beragama Siwa
tetpi karena sebuah sebab Sanjaya menyuruh anakanya Rakai Panangkaran untuk
meninggalkan kepercyanaan nenek moyangnya dan menjadi seorang yang beragama
Budha.
Prasasti Kelurak yang berangka tahun
704 S. Prasasti ini diketemukan di daerah Prambanan, ditulis dengan huruf
Pre-Ngari dalam bahasa sanskerta.[9]
Kedua dinasti itu ialah keturunan Sanjaya yang beragama Siwa dan keturunan
Saeilendra beragama Budha. J.G. de Casparis melihat bahawa para prasasti Siwagrha
yang memperingati akhir pertempuran antara Rakai Pikatan dan Balaiputra yang
menurut prasasti Nalanda adalah raja di Sriwijaya sebagai akibat kemengan Rakai
Pikatan. Penemu prasasti yang bersifat Siwaistis di Desa Sojomerto disusun
dalam bahasa melayu kuno dapat diidentifikasikan sebagai Vancakara dari dinasti
Sailendra. Daksa adalah saudara Balitung. Yang sebenarnya bukan orang yang
berhak atas tahta kerajaan, ia dapat naik tahta karena perkawinan, seperti yang
dapat dibayangkan dari prasasti Mantyasih tahun 829 Saka. Mungkin sekali Saka
ialah saudara istri Balitung atau anak raja yang memperintah sebelum Balitung.
Gelar Sri yang dipakai Daksa waktu ia
masih menduduki pangkat rakryan mahamantri i hino memperkuat dugaan
tersebut. Balitung dapat naik tahta kerajaan mungkin karena kegagahberaniannya
seperti yang diketahui ia merupakan raja yang pertama memerintah daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Wawah adik Rakryan manak yang telah membuat keributan
dengan menculik anak Sri Maharaja Rakelokapala yang bernama Dyah Bhumijaya.
Raja Wawa saat pemerintahannya berakhir oleh suatu bencana, mungkin sekali
karena gunung merapi seperti yang dikemukakan oleh para ahli Geologi R.W. Van
Bemmelen. Dan digantikan oleh Pu Sindok cucu dari Raja Daksa. Permaisuri Sindok
bernama Sri Parameswari Sriwardhani Pu Kbi. Prasasti-prsastinya merupakan
sumber penting bagi penelitian tentang organisasi dan lembaga pemerintahan di
Jawa. Pemerintahan Pu Sindok berjalan aman dan tentram dapat dilihat dari
usaha-usaha sosial yang dilakukannya. Karena Jemu mengalami bebagai kesulitan
dan juga setelah mengalami letusan gunung merapi Pu Sindok memindahkan pusat
kekuasaannya ke Jawa Timur antara lain dalam prasasti Anjukladang, prasasti
prada dan batu tulis dari daerah Surabaya tentang prasada kabhaktyan i panurumbikyan.
Pengganti
dari wakutawangsawardhana ialah Sri Damawangsa Tguh Anantawikramatunggadewa[10]
dan Stutterheim[11]
Dharmawangsa anak dari Wakuta-wangsawardhana, dengan demikian Dharmawangsa kaka
dari Mahendradatta. Tetapi mungkin juga berasal dari keluarga Dharma yang
karena perkawinan menjadi kakak Mahendradatta. Dalam tahu 938 S kerajaan
Dharmawangsa sekonyong-konyong mengalami pralaya[12].
Raja sendiri beserta pasa pembesar negara tewas, dan seluruh jawa bagaikan
lautan api. Pada waktu itu di istana sedang diadakan pesta perkawinan putri
Dharmawangsa dengan Airlangga. Kerajaan Janggala meliputi daerah Malang dan
delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang dan Pasuruhan.
Ibukotanya Kahuripan, ibukota kerajaan Airlangga. Sedangkan Panjalu yang
kemudian dikenal dengan nama Kadiri, meliputi daerah Kediri dan Madiun.
Ibukotanya Daha, yang mungkin adalah Kediri sekarang. Drs. Mencoba membuktikan
bahwa fungsi/kedudukan rakryan mahamantri i hino dipegang purta/putri mahkota.
Selama masa pemerintahan Airlangga jabatan dipegang oleh Sri Sanggramawijaya
Dharmaprasadottunggadewi.
Setelah 58 tahun pemerintahan
Samarotsaha di Janggala memperoleh keterangan tentang kerajaan Pandalu atau
Kadiri. Raja pertama yakni Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri
Prameswarasakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayo-tunggadewa,
antara lain dari para prasasti Padlegang I yang berangka tahun 1038 S. Kemudian
raja ini berturut-turut mengeluarkan sebuah prasasti yaitu :
1. Prasasti
Panumbangan tahun 1042 S
2. Prasasti
Geneng tahun 1050 S
3. Prasasti
Candi Tuban 1052 S
4. Prasasti
Tangkilan tahun 1052 S
Salah
satu prasasti dari raja Jayabhaya yang menarik perhatian yaitu prsasti Talan
tahun 1058 isinya tentang pemindahan prasasti Ripta tahun 961 S menjadi
prasasti Linggopala oleh raja Jayabhaya.
2. Struktur Kerajaan
dan Birokrasi
Kerajaan
yang meliputi daerah yang cukup luas dan telah meninggalkan beberapa monumen
agama yang besar sudah jelas bukan sebuah kerajaan yang kurang teratur.
Prasasti-prasasti yang ada dari jaman Mataram adalah bukti adanya
tata-pemerintahan yang ditunjang oleh suatu birokrasi yang teratur dan
memelihara catatan. Schrieke bahkan memberikan gambaran bahwa dalam lingkungan
daerah para rakai tumbuh suatu budaya yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Mungkin
beberapa hal yang menarik dari budaya keraton Sri Maharaja ditiru dan umumnya
mereka mempunyai ciri mereka sendiri.[13]
Peristiwa serangan terhadap kraton Dharmawangsa pada saat perkawinan Airlangga,
oleh Boechari di tafsirkan sebagai serangan seorang rakai terhadap istana
maharajanya.[14]
Peninggalan-peninggalan jelas menunjukkan bahwa masyarakat pada jaman itu
adalah suatu masyarakat indonesia yang telah menyerap unsur budaya India baik
agama Budha maupun Hindhu dalam tambo dinasti T’ang pada abad ke 10 disebutkan
bahwa Ho-ling disebut Cho-po, Cho-po berarti jawa maka Ho-ling tentunya sebuah
nama kerajaan di Jawa.
3. Keadaan Masyarakat
Batas-batas
yang jelas dari daerah kerajaan Mataram tidak diketahui dengan pasti, tetapi
tempat-tempat penemuan peninggalan dari jaman itu memberikan gambaran besar
daerah jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Kerajaan ini berkembang antara abad
ke-8 dan abad ke-11 masehi. Sebuah berita Cina yang mempertegas gambaran
tersebut. Antara tahun 664 dan 665 seorang guru agama budha dari negeri Cina yang
bernama Hwui-ning datang ke Jawa dan tinggal selam 3 tahun. Ia menterjemahkan
bagian-bagian dari kitab agama[15]
bersama dengan seorang pendeta dari Ho-ling sendiri yang bernama
Joh-na-poh-t’o-lo. Agama Budha Ho-ling yang dianutpada masa itu adalah agama
Budha Hinayana. Dalam prasasti Kelurak yang memperingati didirikannya sebuah
arca Manjusri pada tahun 782, Dhyani
Bodhisatwa tersebut disamakan dengan Brahma, Wisnu dan Maheswara.[16]
Bahkan salah satu puteri Sindok memeluk agama Budha. Suatu masyarakat yang
menganut agama Hindhu pasti mengenal Kasta.
Juga masyarakat kerajaan Mataram mengenlanya. Hal ini disebut dalam
prsasti.[17]tetapi
dari isi berbagai prasasti timbul kesan bahwa peraturan Kasta tidak dijalankan
seperti di India. Kasta pada masa itu hanya dianggap sebagai suatu kerangka
pembagian masyarkat menurut ajaran agama Hindhu. Namun kenyataanya masyarakat
berjalan menurut tata sosial dan budaya Indonesia yang telah ada sejak sebelum
kedatangan pengaruh agama Hindhu. Ada pendapat bahwa hubungan Indonesia dengan
Cina mula-mula dimuali dari hubungan pelayaran artinya orang-orang Indonesia
datang dengan perahu atau kapa-kapal mereka dipelabuhan Cina. Hal ini bahwa
mereka telah melakukan perdagangan. Menurut pendapat tersebut orang Indonesia
datang sebagai pengangkut barang dagangan pedagang bangsa lain seperti pedagang
asia barat atau India. Lalu mengadakan hubungan perdagangan sendiri.
3.Kesimpulan
Dari isi bebagai prasasti dapat
disimpulakan bahwa kerajaan-kerajaan dijaman kuno tidak ada yang berbentuk
negara dengan kekuasaan yang mutlak. Demikian pula kerajaan Mataram.
Kerajaan-kerajaan yang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh para
rakai atau Rakryan. Mereka adalah penguasa-penguasa daerah yang mempunyai
otonomi yang cukup luas. Pada umumnya mereka mempunyai hubungan dengan keraton
Sri Maharaja. Hal ini tidak perlu berarti bahwa mereka berasal dari satu
keturunan. Hubungan tersebut dapat disebabkan karena perkawinan. Dari
keterangan yang masih jauh daripada lengkap mengenai struktur kerajaan dan
birokrasi kerajaan Mataram, timbul gambaran sebuah kerajaan yang diatur dengan
kecermatan dan birokrasi yang tertur. Hampir setiap prasasti merupakan
kesaksiannya dan juga mengisyaratkan bahwa di Matarm dapa golongan elit yang
memahami benar seluk-beluk pemerintaha dan administrasinya. Dalam pendahuluan
yang telah diuraikan bahwa antara berbagi tempat di kepulauan indonesia sejak
jaman prasejarah telah terdapat hubungan lalu lintas barang. Keadaan ini
semakin meningkat setelah terdapat tempat-tempat yang mengadakan hubungan
perdagangan dengan negeri lain antara lain Mataram. Didalam masyarakat Mataram terdapat
cukup banyak orang asing tentu sangat menarik untuk berusaha mengetahui peranan
orang-orang tersebut kecuali sebagian orang-orang india yang jelas berada
dilingkungan agama.
Mengingat bahwa masyarakat Mataram
adalah masyarakat agraris, maka tentu keadaan dalam masyrakat bertumpuh pada
unsur-unsur dan tata-nilai masyarkat demikian. Suatu hal yang menarik adalah
lahirnya golongan yang berkuasa. Dalam nama para raja terdapat tiga unsur yaitu
gelar rakai, kemudian nama didahului dengan sebutan Pu atau
Dya dan di susun dengan nama abieska
dalam bahasa Sanskerta, walaupun unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam
urutan lengkap di prasasti. Gelar rakai biasanya di susul dengan sebuah nama
tempat. Misalnya rakai Garung. Nama
garung sampai sekarang masih terdapat sebagai nama tempat di dekat Dieng. Letak
nama tempat dibelakang gelar rakai raja-raja yang lain belum dapat di
asosiasikan dengan nama tempat. Dan mungkin keluarga asal raja tersebut
berkuasa di tempat itu bukan atas dasar tata-birokrasi kerajaan tetapi sebagai
penguasa dalam struktur tradisionil yang bertumpuh pada masyarakat agraris.
Dari uraian di atas jelas bahwa masih banyak hal yang mengenai keadaan jaman
mataram yang belum di ketahui. Sejarah bukan hanya kisah raja-raja tetapi harus
dapat mengungkapkan kehidupan rakyat biasa yang merupakan bagian terbesar dari
penduduk.
4. Daftar Pustaka
Brades, J.L.A., Archaeologisch Onderzoek op Java en Madoera, II: Beschrijving Van Tjandi Singasari en
Volkentooneel en van Panataran, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1909.
Krom, N.J., Hindoe-Javaansche Geschiendenis, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff,
1931
Hall, D.G.E.A., History of South-East Asia, London, Macmillan, 1968 (Third
Edition).
Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources,
Jakarta, Bhatara, 1960.
Krom, N.J., “Sapta Prabhu”, TBG,
56,1914, hal.195-196
Brandes,J.L.A., “Pararaton (Ken Arok) of het Boek der Koningen van Tumapel en van
Majapahit”. (VBG LXII), 1920.
Casparis, prasasti Indonesia II, Goris, TBG
70, 1956, hal. 161.
Casparis, J.G.de “Historical Writing on
Indonesia (Early Period)”, di dalam : D.G.E. Hall, ed Historians of South East Asia, London, Oxford, University Press,
1961, hal.121-163.
Buchari, Ken Arok: Anak Tunggal Ametung?
“,Berita Antropologi, VII (20),1975,
hal.56-69.
Catatan kaki :
[1] Hal ini
dibuktikan oleh pembuatan saluran untuk mengalirkan air ke laut sepanjang + 11
km (poerbatjaraka, riwayat Indonesia I, 14 catatan 2). Usaha pembuatan saluran
air ini tentunya untuk ketentuan umum misalnya untuk menahan banjir atau
mengairi sawah-sawah, dan tentu saja untuk melaksananakan hal ini diperlukan
untuk suatu organisasi yang cukup teratur dan baik.
[2] Prasasti
ini lebih dikenal dengan sebutan prasasti Tuk Mas.
[3]
Geroeneveldt, Historical Notes on
Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, 12-15
[4] Vogel,”
Het Koninkrijk Crivijaya”, BKI 75, 626-637, 1919;
Bosch,” De Inscriptie van Keturak”, TBG
LXVIII, 1-62, 1929;
Naerssen,”The Cailendra Interregnum” India
Antiqua, 249-253, 1947;
[5] An Old
Malay Inscription at Palas Pasemah (South Lampung), 1972 paper yang belum
diterbitkan, oleh Drs Buchari.
[6] Lingga
adalah lambang dari Siwa. Dari prasasti Canggat ini dapat mengetahui bahwa
agama yang dianut oleh Raja Sanjaya dan rakyatnya adalah agama Siwa. Walaupun
disamping itu dalam prasasti ini juga disebut-disebut Dewa Brahma dan Dewa
Wisnu, tetapip yang jelas Dewa Siwa lah yang dianggap Dewa tertinggi, sebab
penghormatan didalam parasasti ini lebih banyak ditujukan kepada Dewa Siwa.
[7] Yawadwipa
ini disamakan dengan Semenanjung Malaya oleh Moens didalam karangannya
“Sriwijaya, Yava en Kataha”, TBG, 77,
1948. 426-435 dan passim. Selanjutnya Sanjaya dianggap sebagai orang India yang
memerintah di Semenanjung Malaya dan ia menyerang Java , dimana ia kemudian
menjadi raja bawahan (vasal) dinasti Sailendra yang terusir dari Palembang oleh
Sriwijaya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh K.A. Nilakantasastri dalam
karangannya “Kataha”, JGIS, V, 1938,
128-146.
[8] Prasasti
ini lebih dikenala dengan prasasti Keduh, dan dibicarakan oleh W.F. Stutterheim
dengan judul” Een belangrijck oorkonden uit de Kedoe”, TBG, 67, 1927, 172-215 lihat juga R. Goris “de eenheid deer
Mataramsche dynastie”, FBG, 1929, I,
202-206.
[9]
Casparis, prasasti Indonesia II, 1956,
219; OJO VI; Goris, TBG 70, 1930,
161.
[10] Krom,
HJG, 1931, 224-225
[11]
Stutterheim, “Erlangga”, ..............h. 395 catatan 3.
[12]
Kejadian ini disebutkan di dalam prasasti Punangan (Calcutta) yang dikeluarkan
oleh raja Airlangga, OJO LXII, h. 137.
[13] B.
Schrieke, indonesia sociological studies, the hague dan Bandung, 1957, hal
215-216.
[14]
Boechari,” A Preliminary Note on The Study of the Indonesia, I, nomor 2, sept.
1963, hal. 128.
[15] Nama
sebuah kitab suci Budha.
[16] N.J.
Krom op.cit, hal 137.
[17] J.G. De
Casparis, Inscripties uit de Cailendra-Tjid, Bandung, 1950, hal 108-117.
mantap artikelnya, thank's.
BalasHapuswww.kiostiket.com
okey, welcome :)
BalasHapus