Paper yang telah saya susun ini berisi tentang
Gerakan kebangsaan pada tahun 1930-an dan jepang. Alasan pemilihan judul
tersebut sudut pandang terhadap Jepang oleh dua orang intelektual berbangsa
Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan di Belanda dan telah berkunjung ke
Jepang pada tahun 1930-an, saat itu jepang dilanda gejolak demam “Kembali ke
Asia” secara hebat, kemudian merekan pulang ke negerinya dengan membawa kesan
yang sangat membekas walaupun kesan tersebut ada yang baik maupun tidak. Hal
kedua mengenai pemikiran dan suatu segi aktivitas Dekker, seorang nasionalis
gerakan kebangsaan dengan cara melibatkan diri dalam masalah Jepang secara
khas.
Selanjutnya,
pada paper ini akan dibahas bagaimana pencerminan dari sudut pandang kaum
intelektual seperti itu terhadap Jepang dan gerakan kebangsaan pada paruh kedua
tahun 1930-an, yakni Parindra dan Gerindo,[1] dua partai berhaluan kebangsaan yang kuat.
Hatta, Subardjo, dan Dekker yang telah disinggung tadi tidak berhubungan
langsung dengan Parindra maupun Gerindro, namun pemikiran politis Gerindo
mendapat pengaruh dari Hatta dalam berbagai hal, sedangkan Subardjo dan Dekker
mempunyai koneksi erat dengan para pemimpin Parindra. Karena itu, jika melihat
sudut pandang terhadap jepang delam Gerakan kebangsaan pada paruh kedua tahun
1930-an, dapat dimengerti bahwa pada hakikatnya” sudut pandang yang simpatik
terhadap jepang” seperti yang ditujukan oleh Subardjo atau Dekker tersebut
telah diwarisi oleh Parindra sedangkan “ Penilaian yang kalem terdahap jepang
seperti dimiliki Hatta, telah mendasari sudut pandang gerindo.
2. Pembahasan
Parindra dan Jepang
1.1 Ciri khas Parindra
Pada paruh kedua tahun 1935, terdapat berbagai faktor perubahan dalam hubungan internasional di wilayah Asia-pasifik, seperti meningkatnya minat Jepang terhadap wilayah Selatan atau adanya pengakuan atas “philippine Commonwealth” yang memberikan batas otonomi yang sangat leluasa terhadap negara tetangga, filipina. Sebaliknya, di Indonesia, gerakan politis yang bersifat non-kooperatif terhadap belanda yang selama ini memimpin gerakan kebangsaan dipaksa bungkam pada saat itu. Denga lata bekanag “stabilitas” yang diberikan oleh kekuasaan besar pemerintah kolonial Belanda maka pada bulan Desember 1935 berdiri Perindra (Partai Indonesia Raya) yang berhaluan kooperatif moderat.
Parindra yang merupakan partai gabungan dua organisasi politik yang ada selama ini, yaitu Budi utomo (didirikan pada tahun 1908), organisasi sosial-politik paling tua, dan Partai Bangsa Indonesia (didirikan pada tahun 1930), yang tergolong organisasi politik baru dan secara akfit melancarkan gerakan guna membangkitkan kesadaran dibidang sosial ekonomi yang terpusat di Jawa Timur, terutama di Surabaya. Dengan demikian, Parindra menjadi partai politik terbesar di Hindia-Belanda pada periode paruh kedua tahun 1930-an dan mempunyai keterkaitan yang erat dengan jepang yang berupaya berekspansi ke Selatan. Selanjutnya, supaya uraian mengenai sudut pandang Parindra terhadap jepang menjadi lebih jelas, sebelumnya dijelaskan secara singkat ciri khas politik yang penting yang terdapat pada partai ini.
Seperti yang diketahui dari asal-usul keenam pimpinan partai,[2] partai ini dipimpin para intelektual Jawa yang kaya dan para priyayi yang progresif dan memiliki basis pendukung yang berasal dari golongan kaya di berbagai daerah.[3] Sebagi prinsip, partai merekan secara aktif berusaha mendapatkan kursi dalam Volksraad pada tingkat pusat maupun provinsi, dan hal itu terbukti dari perolehan kursi terbanyak sebagai partai politik bangsa Indonesia dalam Volksraad (pada awal pendirianya, partai ini berhasil mengirimkan dua orang anggota, yaitu R.M.A Koesoemo Oetojo dan Soekardjo Wrijopranoto).
Dalam anggaran dasar partai disebutkan bahwa tujuan dan gagasan ide partai paling mendasar adalah mewujudkan “Indonesia Mulia (dengan pengertian Indonesia yang makmur). Meskipun saat itu kata-kata ideologis “Merdeka”lah yang paling digandrungi dalam gerakan kebangsaan, Soetomo sebagai ketua partai dalam aktivitas politiknya tetap mengutamakan misi partai untuk mewujudkan Indonesia “Mulia” tersebut. Menurutnya, mewujudkan “merdeka” tidak otomatis membawa kemakmuran bagi suatu bangsa, tetapi mewujudkan “masyarakat yang makmur” pasti dilandasi kemerdekaan terlebih dahulu.[4] Partai yang dipimpin oleh kaum intelektual Jawa yang tergolong lapisan kaya dan menitikberatkan aktivitas yang mengacu pada reformasi ini, mencoba mencari model modernisasi Indonesia bukan dari negara-negara Barat melainkan dari negara maju dikawasan Asia. Pada kesempatan berkunjung tersebut, Soetomo terkesan dan diilhami oleh cara penerapan ideologi “Wa-kon Yo-sai” (menerapkan ilmu dari barat dengantetap mempertahankan jiwa bangsa Jepang) serta sejenis kemiripan yang terdapat di antara budaya tradisional Jepang dengan kebudayaan Jawa.[5]
1.2
Sudut Pandang Parindra terhadap Jepang
Partai –partai politik
bangsa Indonesia saat itu pada umumnya menyatakan sikap kritis terhadap
fasisme. Tetapi pemahaman mengenai fasisme Jepang terdapat perbedaan pendapat.
Parindra tidak mempetimbangkan kesamaan hakikat antara imperialisme Jepang
dengan imperialisme Belanda, dan mempercayai Jepang guna memanfaatkan kekuatan
jepang (bagi gerakan kebangsaan). Karena itu, mereka tidak menunjukan
perlawanan saat berhadapan dengan peningkatan meliterisme Jepang.[6]
Parindra berbeda dengan Hatta dan kawan-kawan yang berpenapat bahwa mewujudkan
perdamaian abadi diantara Jepang dengan Tiongkok atas dasar asas kesamaan
derajat mutlak diperlukan demi stanilitas Asia.memandang konfrontasi total
antara Jepang dan Tiongkok ini bagaikan “kebakarandiseberang tepi sungai.”[7]
Partai ini selalu mengambil ”jarak” dari tiongkok. Hal itu dapat diketahui dari
beberapa hal, seperti, tidak pernah diizinkan keanggotaan partai bagi Tionghoa
Perantauan,[8]
atau tidak pernah disinggung Tiongkok sebagai suatu “model” negara Asia yang
harus dipelajari oleh Indonesia, padahal Jepang, Filipina, dan India sering
disebut sebagai contoh negara Asia.
Soeara Parindra juga sering menurunkan tulisan mengenai kebijaksanaan
ekspansi Jepang itu sendiri. Soeara
Parindra memang selalu menyadari adanya minat besar Jepang terhadap Selatan
dan sadar bahwa Jepang melihat terutama Indonesia sebagai kunci hidup bagi
Jepang, karena wilayah tersebut merupakan sumber pemasok bahan-bahan mentah,
pasar bagi Produk industri Jepang, dan sekaligus sebagai tempat tujuan emigrasi
rakyat Jepang. Walaupun demikian, artikel-artikel mereka tidak menilai hal-hal
tersebut sebagai “ekspansi fasisme jepang yang mengerikan telah mengarah ke
Selatan.” Malah orang-orang penting dalam partai Parindra, seperti Thamrin,
bukannya menyatakan kewaspadaan terhadap jepang, tetapi mulai terang-terangan
menyatakan rasa kecewanya terhadap belanda, karena pemerintah Hidia-Belanda
berkali-kali menggagalkan mosi tuntutan reformasi di Volksraad. Artikel ini
dengan jelas menceritakan kondisi selama itu. Situasi krisis yang dapat menimbulkan perang memang ada pula di kawasan
Pasifik. Surat berbahasa Belanda mengkhawatirkan kemungkinan Jepang mulai
menggarap wilayah Selatan sebagai kolonial mereka. Jika terjadi bentrokan
dengan Jepang dan jika kemudian Belanda kalah, tanah dan bangsa Indonesia akan
jatuh ke tangan Jepang. Surat kabar- surat kabar brbahasa Indonesia pun
mengangkat masalah ini dalam pemberitaan dan mengusulkan agar masalah ini
dirundingkan brsama-sama oleh wakil pemerintah Hindia-Belanda dengan bangsa
Indonesia. Tetapi saat ini sesudah usul Sutardjo yang menyarankan perundingan
antara kedua pihak itu ditolak, kita tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi dari
Belanda...singkat kata bangsa kita tidak mempunyai kekuasaan ataupun hak untuk
membangun suatu negara Indonesia.[9]
Parindra memang menyadari ambisi Jepang ke wilayah Selatan. Tetapi bagi
Parindra, Belandalah yang menjadi musuh utama untuk sementara waktu, sedangkan
terhadap Jepang sebagai “musuhnya musuh” mereka memberi reaksi yang sangat naif
karena ada rasa simpati terhadap Jepang sebagai tradisi partai, seperti
diuraikan diatas. Walaupun kemudian sesudah kedudukan Jepang semakin terisolir
dalam kencah politik internasional kawasan Asia-Pasifik dan kritik trhadapt
Jepang di dalam negeri Indonesia mencapai suatu titik, pada dasarnya rasa
simpati para mayoritas orang Parindra tetap tidak mengalami perubahan. Bahkan
sepeninggal Soetomo (Mei 1938), dibawah kepemimpinan Thamrin, ketua bagian
Politik yang dalam kenyataanya berlaku sebagai pimpinan tertinggi partai,
parindra meningktakan kecenderungan untuk tertatik ke Jepang yang mengibarkan
slogan “Asia untuk bangsa Asia”
2
Perdebatan
Husni Thamrin dengan M. Tabrani
2.1
Kedudukan Politik Thamrin
Thamrin[10]
telah menjadi perhatian orang di pusat gelanggang politik sebagai harapan
pergerakan nasional golongan moderat, sejka menjadi anggota Volksraad pada usia
muda, 33 tahun (karena dr. Sortomo menolak menjadi anggota dewan) pada tahun
1927. Setelah itu Thamrin yang semakin memperkuat kedudukannya sebagai
Politikus dewan dengan mendirikan fraksi Nasional”[11]
dalam Volksraad itu, pada satu pihak, juga menjalin hubungan erat dengan
Sukarno dan para pemimpin muda PNI lainnya yang tengah tampil ke panggung
pergerakan nasional dengan cemerlang, yang pernah berprinsip tidak akan bekerja
sama dengan Belanda.
Dari karier aktivitas politik yang menjadikan Volksraad dan
Parindra sebagai fundamennya, yang demikian pun dapat kita ketahui bahwa
Thamrin bermaksud memperluas otonomi Indonesia dan sekaligus memungkinkan
kemerdekaannya melalui kerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dia sendiri
membangunkan diri sebagai “Manuel Quezon Indonesia,” dan dari penilaiannya yang
tinggi terhadap kemerdekaan yang ditempuh oleh Filipina itu pun boleh dikatakan
pencerminan akan hal tersebut. Parindra secara tradisional memang
memperlihatkan simpatinya terhadap Jepang, dan mendekati akhir tahun 1930-an,
dalam berbagai tingkat, di antara anggota partai mulai terlihat kontrak yang
bersifat politis secara konkret dengan jepang.[12]
Thamrin sendiri juga merupakan salah satu pemimpin yang tidak dangkal
hubungannya dengan jepang, masih tetap berdiri pada puncak pergerakan nasional
dalam lingkupan legal, pada bulan mei 1939, ia mengambil inisiatif atas
terbentuknya GAPI[13]
(Gabungan Politik Indonesia), yang ia sendiri menjabat sebagai anggota pengurus
harian.
2.2 Kedua Belah Pihak
setelah Polemik
Di
tengah-tengah situasi dalam dan luar negeri yang melibatkan Indonesia, Tabrani
sebagai “pencetus” Polemik Thamrin-Tabrani itu, memuat karangan penjelasan
dengan judul “permintaan berhenti” dalam harian Pemandangan , 22 Oktober, setelah dia bekerja sekitar 4 tahun
sebagai pemimpin redaksi. Dia menyatakan akan meletakkan jabatan pemimpin
redaksi harian tersebut dan menjadi pegawai tinggi Departemen informasi
Pemerintah Hindia-Belanda. Perubahan status yang sangat tiba-tiba dan terlalu
“menonjol” ini merupakan kejadian hanya 2 bulan setelah “polemik” tersebut.[14]
Thamrin
sangat memperhatikan keadaan pergerakan nasional Indonesia saat itu, dan selalu
melakukan pertukaran pikiran dengan amat terus terang dari hati ke hati
mengenai situasi internasional maupun sosial kemerdekaan Indonesia dengan
sebagian orang jepang yang berusaha mendekati Parindra ataupun sebagian
pemimpin partai tersebut, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.
Terlebih-lebih, pada bulan Maret 1940, ketika Sato Nobuhide yang merupakan
Direktur kantor Perwakilan Biro Ekonomi Kota Madya di Batavia yang baru
didirikan dan jufa merangkap sebagai pegawai kontrak pada Markas Besar Kepala
Staf Angkatan Laut itu bertugas, dia melakukan pengumpulan informasi tentang
ekonomi sebagai referensi untuk perundingan perdagangan Jepang-Belanda yang
direncanakan dibuka pada bulan September. Lebih lanjut, dia berusaha keras
memahami keadaan nyata prgerakan nasional maka, Thamrin brsama-sama Douwes
Dekker pun menjadi saluran informasi yang kuat bagi Sato.[15]
2.3
Peristiwa Thamrin
Pada tanggal 6 januari 1941 malam, Thamrin
yang baru kembali dari rapat pleno Parindra cabang Jawa Tengah dan membaringkan
tubuhnya yang nampak sangat lelah di kamar pridabinya terkejut, karena
tiba-tiba rumahnya digeledah oleh penguasa kolonial. Mendahului penggeledahan
rumah Thamrin ini, lewat siang hari, jawatan kejaksaan Batavia mengadakan
penggledahan pada percetakan pemandangan di jalan senen dalam kota, dan menyita
klise surat pribadi Thamrin yang dikirimkan kepada Tabrani sebelum terjadi
“polemik” surat itu, mengecam pemerintah Belanda yang mengungsi ke London itu
sebagai “pengecut.” Tabrani, sebagai pemimpin redaksi membuat klisenya dan
menyimpan ke dalam peti kemas harian tersebut.[16]
Akibat, sepucuk surat pribadi yang ditujukan kepada Tabrani menjadi pencetus
“peristiwa Thamrin.” Mengenai hal ini, tabrani pada tahun-tahun belakangan
melukiskan keadaan seluk-beluk yang amat rumit pada saat itu.
Setelah pada tanggal 11 januari 1941, lima
hari setelah peristiwa penangkapan itu, Thamrin yang menjalani hukuman
kurrungan rumah dan penyakitnya yang kambuh dan panas tinggi karena kelelahan,
meninggal dunia dlaam masa jayanya 47 tahun, sambil mengeluarkan “air ludah
Hitam” tanpa henti-hentinya,[17]
setelah diperiksa dr. Kayadoe yang ditugaskan oleh kolonial. Ini mrupakan
penutup peristiwa yang mencatat dalam sejarah modern indonesia sebagai
“Peristiwa Thamrin” pada hari itu. Pada saat ini, sangat sulit untuk mengetahui
decara detail tentang bagaimana caranya Thamrin yang pada hari-hari akhir
hidupnya yang penuh dengan ombak kejadian itu menanggapi jepang, dan apa
hubungan yang sebenarnya antara dia dengan Jepang. Hanya, jika mengikuti
jejak-jejak secra garis besar hubungan dengan Jepang itu, misalnya, ia tidak
sama dengan orang awam seperti Joesoef Hassan[18]
yang berusaha mempercayai jepang dengan mempertarukan semua eksistensi dirinya
dan akhirnya tidak terbalaskan itu, sedangkan pada diri Thamrin, dia berperan
sebagai “orang yang terlatih,” menimbang perbandingan kekuatan dalam hubungan internasional
tetapi tidak tahu akan kesudahannya dan agaknya bukan mustahil dari dirinya
kita dapat melihat sebuah gambaran politikus yang bersifat realis dn bertipe
otoriter, yang mencoba memanfaatkan energi “Nanshin (ekspansi ke Selatan)”
Jepang untuk pergerakan nasioanl sekaligus brusaha memperoleh keagungan pada
dirinya. Jika melihat tanggapan umum atas diri Thamrin di dalam negeri
Indonesia pada sekarang ini, dan juga terdapat persamaan pandangan yang luas
yang menilai kematiaanya sebagai korban yang pedih dari penjajahan, namun
penilaian atas diri Thamrin yang dinamis yang lebih lanjut tidak dilakukan,
barangkali bertalian dengan hubungan dia dengan Jepang atau ambisi dirinya dan
sebagainya.
3. Sudut Pandang Gerindo terhadap
Jepang
3.1 Sikap Politis
Gerindo
Partai Gerindo debrntuk pada bulan
Mei 1937 terutama oleh orang-orang berhaluan kiri yang tidak puas atas sifat
konservatif Parindra.[19]
Sejak berdirinya, Gerindo berasumsi bahwa faktor utama penyebab ketegangan
situasi internasioanl saat itu adalah pertarungan di antara kekuatan kelompok
demokratis dengan kekuatan kelompok fasis. Jadi mereka berpendapat bahwa untuk
memerangi fasisme, Belanda dan Indonesia yang sama-sama menganut paham
demokratis harus bersatu atas dasar kesamaan pokok tanpa mempermasalahkan
perselisihan-perselisihan kecil. Mereka pun menekankan bahwa perbedaan yang
terdapat di antara paham fasisme dengan paham demokratisme yang sangat
fundamental adalah jauh besar daripada perbedaan warna kulit.
Sikap politis Gerindo seperti ini seterusnya tetap dinyatakan.
Pendapat Amir Sjarifudin dalam tulisan “Demokrasi dan Resolusi Grapi” merupakan
pertanyaan simbolis sikap tersebut. Dalam tulisan itu ia berucap bahwa saat ini
merupakan zaman konfrontasi luar negeri dan demokrasi di luar negeri sampai
kalah oleh fasisme, demokrasi di dalam negeri pun akan mengalami kemunduran.
Jika hal itu terjadi, betul-betul merupakan situasi gelap. Hanya dengan
mewujudkan demokrasi, baru dapat membangun masyarakat yang adil dan damai.[20]
3.2. Sudut Pandang terhadap
Perang Jepang-Tiongkok
Tindakan militer Jepang dalam perang Jepang-Tiongkok, Gerindolah
yang di antara organisasi politik Indonesia saat itu yang paling jelas
menyatakan pendapat bahwa tindakan tersebut melanggar hukum internasional dan
merupakan intervensi yang dilakukan oeh militerisme dan fasisme Jepang.
Pernyataan pendapat tersebut kontras dengan sudut pandang parindra yang
mengamati jepang melalui sudut pandang simpatik terhadap logika Jepang terhadap
militer Jepang di Tiongkok tidak berdasarkan dukungan dri rakyat umum, tetapi
berdasarkan caa pikir ala Barat terhadap situasi internasional, dan sudut
pandang kritik seperti itu boleh dikatakan hanya dimiliki terbatas oleh kaum
intelektual radikal kota yang memunyai toleransi psikis terhadap kaum intelektual
Gerindo dan pada saat itu diasingkan di Bandanaira sangat menyesalkan Perang
Jepang-Tiongkok dengan kata “orang Tionghoa seharusnya patut menerima simpati
dan dukungan rakyat Indonesia, tetapi yang terjadi Jepanglah yang menerima
dukungan dri rakyat Indonesia” [21]
Gerindo yang melancarkan kritik tajam atas tindakan luar negeri
Jepang yang digelar dikawasan Asia-Pasifik, mengambil sikap dapat menerima
kerja sama dengan pihak orang Tionghoa perantauan atas dasar sudut pandang anti
fasisme Jepang. Sikap tersebut membedakan dengan Parindra. Sebagai tindak nyata
maka pada tanggal 8 November 1937 Gerindo mengumumkan, “ Deklarasi mengenai
upaya bantuan oleh partai terhadap gerakan pengiriman bala bantuan ke Tiongkok
oleh orang Tinghoa Perantauan dalam rangka usaha mematahkan aksi militer Jepang
di Tingkok.”[22]
Begitu pula Gerindo pada bulan Agustus 1939 dalam rapat akbar partai ke-2
(diselenggarakan di Palembang) memutuskan untuk membuka keanggotaannya terhadap
Tionghoa Perantauan[23]
dan mengimbau pula dewa pimpinan cabang partai agar memberikan dukungan kepada
orang Tionghoa perantauan yang melakukan gerakan bantuan untuk Daratan Tingkok.[24]
Selanjutnya dalam kaitanya dengan sikapa Gerindo terhadap perang
Jepang-tiongkok akan diuraikan sepintas
mengenai aktivitas Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar Indonesia di
Belanda. Berbeda dengan Serikat indonesia, organisasi pelajar Indonesia di
Jepang, yang mempunyai hubungan dekat dengan Parindra dan dengan segera
menyatakan sikapnya yang mendukung tindakan militer Jepang di Daratan Tiongkok,
perhimpunan Indonesia pada bulan Desember 1937 dalam rapat umum yang
diselenggarakan di Leiden menyebut Jepang sebagai “jerman di Asia” dan menilai
bahwa
1. Penyerangan
Jepang terhadap Tingkok merupakan tindakan tidak manusiawi yang melanggar hukum
internasional,
2. Lemahnya
sikap negara-negara demokratis serta kelakuan yang arogan negara-negara fasis
meningkatkan bahaya perang bagi Indonesia,
3. Bahaya
ini tidak hanya manjadi ancaman bagi Indonesia, tetapi juga bagi Belanda. Dari
hal tersebut merupakan mendeklarasikan perlunya tindakan pertahanan secara
bersama-sama untuk menyelamatkan kepentingan bersama bagi kedua belak pihak.[25]
Dalam kesempatan ini pula ketua perhimpunan Indonesia, P.Lubis, berbicara
dengan judul “Situasi tanah air Indonesia dalam hubungannya dengan perang
Jepang-Tiongkok”.
Pada
awal Februari 1942 setelah “perang Asia Timur Raya” Pecah dan pendaratan
militer Jepang di Indonesia sudah tinggal menunggu waktu, Gerindo menegluarkan
prnyataan sebagai berikut, yang menandakan secara jelas situasi sulit bagi kaum
nasionalis saya kiri yang kian tersudut pada saat itu: perang besar saat ini timbul akibat fasisme. Perang ini bukan perang
diantara pihak pemerintah Hindia-Belanda dengan kekaisaran Jepang (Dainippon
Teikoku), tetapi merupakan penyerangan fasisme terhadap negara kita. Karena itu
kita harus berdiri di pihak demikrasi dan menangkakis serangan Jepang. Jika
kekuatan fasisme yang menang, Hal itu membawa kepunahan bagi demokrasi sedunia.[26]
Kesimpulan
Hampir sepuluh tahun
setelah “Masalah Lautan Pasifik” muncul di Indonesia, bayangan gelap Jepang di
wilayah Lautan Pasifik Barat terasa semakin pekat dengan sangat cepat. Begitu
pula bagi gerakan kebangsaan Indonesia,” Masalah Lautan Pasifik” mau tidak mau
langsung merupakan “masalah Jepang.” Dalam situasi demikian, Parindra
yangmewakili kaum nasionalis sayap kanan dan lebih bersifatpribumi/jawa,
melakukan pendekatan terhadap Jepang dengan mengandalkan harapan “Kesanaan
Bersifat Asianis,” akibat hubungan mereka dengan pemerintah Hidia-Belanda yang
masih tetap mempunyai kekuasaan besar memburuk. Sedangkan partai politik
berhaluan kiri Gerindo yang dari segi Faham lebih radikal, semakin tegas
menyatakan pendirian anti-fasisme Jepang” berdasarkan anggapan bahwa dengan
perantauan “Demokratisme” mereka dapat bekerja sama dengan pihak penguasa
Belanda di atas dasar yang sama. Persaingan antara kedua paham mengenai Jepang
seperti itu menjadi ciri Khas yang satu dengan yang bersifat sangant kontras
dalam bubungan anrata gerakan kebangsaan Indonesia dengan jepang sejak paruh
kedua tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 1940-an.
Pemahaman terhadap Jepang yang telah di uraikan di atas bagi
kedua partai politik nasional utama dan para tokoh intelektualnya sudah barang
tentu hanya merupakan sebagian dari pemahaman ideologis yang mereka miliki.
Karenanya pemahaman itu mungkin tidak bisa dijadikan kunci tetap untuk memahami
sudut pandang mereka. Walaupun demikian, dua sudut pandang yang masing-masing
melihat Jepang sebagai “teman se-Asia” yang memiliki “Bushido (Samuraisme),
yang mempunyai kesamaan dengan Ksatriaisme Jawa,” atau melihat Jepang sebagai “negara
fasis” yang tidak mengenal kompromi dengan “demokratisme” sebagai nilai
tertinggi merupakan permasalahan politis yang sangat penting bagi gerakan
kebangsaan Indonesia saat menjelang pecah perang.
3. Daftar Pustaka
Ishizawa,
Yutaka. Ran-in genjo dokuhon [Buku
tentang Keadaan Hindia-Belanda], Shinchosa, 1940.
________,”Nitchu
senso to Tonan Ajia kakyo” [Perang jepang-Tiongkok dan Keturunan Tionghoa di
Asia tenggara], Nihonkokusaiseijigakkai Nichu
senso to kokusaiteki taio [Perang jepang-Tiongkok dan Redaksi
Internasional], Yuhikaku, 1928.
Ohata,
Tokushiro. Nihon gaiko seisaku no shiteki
tenkai [Perkembangan dari Perspektif Sejarah Tindakan Politik Diplomasi
Jepang], Seibundo, 1983.
Gaimusho
Nan-yokyoku. Toindo minzoku undo no genjo
[Keadaan Sebenarnya dari Gerakan Nasionalisme Hindia-Belanda], vo. 4 dari
Nancho, 1941.
Kimura,
Tokio. Nihon nashonarizumu no kenkyu
[Penelitian Nasionalisme Jepang], Maenoshoten, 1961.
Kishi,
Koichi.” Taiheiyo senso eno michi toshiteno Nampo seisaku Kettei” [Keputusan
Tindakan Politik Wilayah Selatan Sebagai Jalur Ke perang Pasifik], Toyokenkyu, Februari 1964.
Kindai
Nihon kenkyu. Taiheiyu senso [Perang
Pasifik], Yamakawashuppansha, 1982.
Goto,
Ken’ichi. Jepang Dan pergerakan
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 1998
Goto,
Ken’ichi.” Senzenki Indonesia Ryugakusei no Nihonkan: Mahjudding Gaus kaisoki ni tsuite” [Pemandangan Mahasiswa dari Indonesia
pada Massa Sebelum Perang: Tentang Kenang-kenangan
Mahjuddin Gaus], Shakaikagaku tokyu
28-2, Maret 1983.
Nakayama,
Yosuto.” Ran-in no genjo to sono doko” [Keadaan Nyata Hindia-Belanda dan
Gerakannya], Gendai, September 1941.
Nagazumi,
Akira. Oranda Higashi Indo gaisha
[Kompeni Hindia-Belanda], Kondoshuppan, 1980.
Imam
Soepardi. Kenang-kenangan atas Kematian
M.H. Thamrin. Surabaya: Pustaka Nasional, 1941.
Soehoed
Prawiroatmodjo. Perlawanan bersenjata
terhadap Fasisme jepang. Jakarta: merdeka Press, 1953.
Soekanto,
S.A. Matahari Jakarta: Lukisan Kehidupan
M.H.Thamrin. Jakarta: pustaka Jaya, 1974.
Catatan kaki:
[1] Sejarah keseluruhan gerakan
kebangsaan nasional pada saat itu, Lihat A.K. Pringgodogdo, Sejarah pergerakan Rakyat Indonesia
(jakarta: Pustaka Rakyat,1950): Jan M, Pluvier, Overzichit van de Ontwikkeling
der nationalistische Beweging in Indonesia in de Jaren 1930 tot 1942
(Gravenhage: van Hoeve, 1953); George Mct. Kahin, Nationalism and revolution ini Indonesia (Ithaca: Cornell Univ.
Press, 1952): dan lain-lain. Penelitian Wertheim juga menyinggung masalah
polarisasi gerakan kebangsaan yang terpusat pada Parindra dan gerindo. Ia
menganalisis bahwa Parindra yang
mewakili demokratisme borjuis merasa dekat dengan Jepang dan gerindo
yang lebih Radikalis memandang jepang sebagai fasis yang berbahaya serta secara
giat berusaha bekerja sama dengan demokratisme Barat W.F. Wertheim, Indonesia Society in Transition (2nd
ed.) (The Hague and Bandung: W. Hoeve, 1959), hlm. 74-75, 323.
[2] Nama keenam pimpinan tertinggi
tersebut, dr. R Soetomo, K.R.M. Woerjaningrat, MR.DR.R.Ng. Soebroto (Sekretaris
I), M, Soendjoto (Sekretaris II), R.Roeslan wongsokoesoemo (wakil Sekretaris),
R. Soedjono (kepala Bagian Keuangan). Dari gelar kebangsawanan atau gelar
kesarjanaan, mereka pun dapat mengetahui salah sebagian sifat parindra. Soeara Parindra (Maret 1936), hal. 5-6
[3] Mengenai hal ini, misalnya, dalam
buku penelitian pihak jepang, wada Hisanori, Mori hiroyuki, suzuki Tsuneyuki, Tonan Ajia gendaishi Vol. I Indonesia
{Sejarah Asia tenggara (1) Indonesia}, Tokyo: yamakawa Shuppan, 1997, menulis,”
(Parindra) seperti telihat dalam aktifitasnya yang mendukung lapisan borjuis
kecil dan petani kaya dengan berbagai cara, partai tersebut melakukan usaha
mendukung pemerintah yang berniat memupuk industri kecil sebagai upaya
penanggulangan krisis ekonomi, sehingga mendapat dukungan dari lapisan
borjuis kecil dan petani
kaya,”(hlm.203). “sifat borjuis” partai ini menimbulkan kritik dari nasionalis
sayap kiri. Masyarakat yang berhaluan Pendidikan Nasional indonesia yang
dipimpin Sjahrir dan lain-lain, secara tajam dan pedas menilai Parindra dengan
menyebutnya sebagai “penghianat rakyat.” J.M. Pluver (terjemahan oleh
Soewignjo), Ikhtisar Perkembangan
pergerakan kebangsaan di Indonesia dari Tahun 1930 sampai tahun 1942 (mimeo.
Jakarta 197?), hlm.115. tetapi Parindra sendiri pada setiap kesempatan
menyatakan,” . adalah kesalahfahaman bilamana menyebut partai kami sebagai
organisasi suky jawa atau hanya mementingkan kepentingan lapisan masyarakt
atas” sambil menunjukan hal-hal di bawah ini sebagai alasan; (1) partai
pendukung kegiatan Rukun Tani (sejenis koperasi petani); (2) partai menggunakan
bahasa Indonesia (bukan bahasa jawa sebagai bahasa resmi; (3) 81 persen kursi
pimpinan dari jumlah kursi pimpinan di cabang-cabang luar jawa diduduki bukan
orang jawa dan lain-lain, Soeara parindra (April 1939), hlm 13-14.
[4] Slamet Muljana, op.cit., hlm 57058. Juga makalah :
Savitri Scherer,” Soetomo and Trade Unionism”, Indonesia 24 (Oktober 1977), hlm. 37-38.
[5] Soetomo sejak bulan Maret 1939
selama setahun berkeliling ke luar negeri dan singgah pula ke Jepang pada musim
semi saat Subarjo berada di Jepang. Ia mengirimkan artikel secra seri yang
menceritakan pengalammnya selama itu ke Soeara
Umum yang berhaluan Perindra. Di dalam artikel tersebut ia sangat memuji
modernisasi Jepang denga bangsa Indonesia. Saat berada di Tokyo, soetomo sangat
terkesan dan terharu melihat pertunjukan kabuki dan berkomentar,” Walaupun
jepang telah mengalami modenisasi, sama sekali tidak kehilangan warisan
kesenian tradisional sendiri... tidak begitu besar perbedaan kebudayaan
tradisional Jepang dengan kebudayan kita sendiri,” Soeara Parindra (Mei 1936),
hlm. 12 mengenai pujian Soetomo terhadap Jepang seperti itu, liem Koen Hian,
pimpinan partai Tinghoa Indonesia (PTI) dan juga pemimpin orang Tionghoa
Perantauan berhaluan “pembauran” mengkritiknya dalam harian Sin Po dengan menulis bahwa pujian
Soetomo hanya merupakan hasil pemantauan seorang turis yang dangkal dan tidak
menyinggung serangan-serangan Jepang terdahap negara-negara sekitarnya dan
kecondongan imperialisnya. Polemik kedua tokoh tersbut setelah itu berlanjut
dan menghebat. Sampai pada suatu titik, Liem mengecam Soetomo sebagai “juru
propaganda jepang” dan di akhirinya perdebatan mengarah ke perdebatan yang
bersifat pribadi. Mengenai detail polemik tersebut, Lihat Leo Suryadinata, peranakan Chinese Politics in java 1917-1942 (Singapore: Inst. Of Southeast
Asian Studies, 1976)hlm. 127-129. Sedangkan mengenai pandangannya terhadap
pendidikan talah jelas dalam polemik kebudayaan dengan S. Takdir Alisjahbana
dan lain-lain. Untuk rincianyya luhat Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (jakarta: pustaka jaya, 1977).
[6] Ali Sastromidjojo,
Tonggak-tonggak di perjalananku (jakarta: Kinta, 1974), hlm. 120
[7] Mengenai hal ini, Abeyasekere
menunjukan terdahap suatu perasaan dekat terhadap jepang baik pada orang-orang Parindra meupun pada
masyarakt secara luas dan mengenai alsan mengapa tidak terjadi argumentasi
mengenai imperialisme Jepang sebagai akibat perang Tiongkok-Jepang, ia
berpendapat bahwa suatu pengakuan terhadap logika Jepang yaitu pertentangan
tidak terdapat di antara Jepang dengan tiongkok, tetapi terdapat di antara
jepang dengan negara adikuasa Barat yang mengeksploitasi Tiongkok. Susan
Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesia Nationalist and the Dutch
1939-1942 (Centre of Southeast Asia
Studies, Monast Univ., 1976), hlm. 20
[8] Pada rapat umum ke-2 yang
diselenggarakan pada bulan Desember 1938 di Bandung, thamrin menyatakan
pendapatnya bahwa untuk sementara waktu tidak boleh menerima peranakan mana pun
sebagai anggota partai. Leo Suryadinata, op.cit.,
sejak itu prinsip tersebut tidak pernah berubah.
[9] Soeara Parindra (April 1939),
hlm.125,128. Majalah ini tidak terbit lai sejak januari 1942. Dalam edisi
terakhir Soetedjo menurunkan tulisan yang berjudul “masalah Demokrsi” yang
antara lain berbunyi” saat ini dimana-mana diperdebatkan masalah demokrasi
dengan totalitarisme. Saya sengaja tidak mempermasalahkan benar-tidaknya
anggapan itu,” dan dengan demikian ia menyindir kebijaksanaan belanda sebagai
suatu negara demokrasi. Ibid. (Januari
1942), hlm. 80.
[10] Adapun karangan-karangan mengenai
Thamrin sebagai berikut: Imam Soepardi, kenang-kenangan
atas kematian M.H. Thamrin (Surabaya: Pustaka National, 1941); matu Mona, Riwayat Hidup dan Perjuangan Muhammad Husni
Thamrin (jakarta: Bintang Mas, 1952); Soekanto S.A matahari jakarta: Lukisan Kehidupan M.H. Thamrin (jakarta:
percetakan Negara, 1958) yang diterbitkan untuk memperingati 16 Tahun kematian
Thamrin. Sedangkan mengenai “riwayat Hidup dan Perjuangan Muhammad Husni Thamrin,”
karangan Matu Mona yang tersebut di atas itu terdapat penjelasan rinci oleh
Masuda Ato, Indonesia Gendaishi
(Sejarah Modern Indonesia), Tokyo: Chuokoronsho, 1971.
[11] Mengenai latar belakang
berdirinya “fraksi nasional” dan isi aktivitas dan sebagiannya, lihat Sartono
Kartodirjo, Nugroho Notosusanto, marwati Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia
(vol. V) (Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 222-229.
[12] George S. Kanahele, “ The
japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence,” Bab I. Di samping
itu , keadaan nyata “ usaha pendekatan” terhadap kaum nasionalis oleh Jepang
terjadi sejak Paruh kedua tahun 1930-an sampai menjelang perang. Adapun sebagai
uraian rinci dari pihak pemerintah Belanda adalah The netherland East-Indies
Goverment, ten Years of Japanese
Burrowing in the Netherlands East_Indies (N.Y., 1942).
[13] Mengenai GAPI, secara rinci
lihat buku-buku yang tercantum namanya pada nomor (1). Sedangkan sebaian hasil
penelitian oleh orang Indonesia, Umi Prahastuti, Gabungan Politiknya Indonesia (belum terbit), yang disampaikan
dalam Seminar Sejarah Nasional II, 1970.
[14] Pemandangan, 22 Oktober 1940. Di
sini diutarakan sebagai berikut: tidak pernah terbayangkan oleh khalayak ramai,
bahkan oleh saya sendiri bahwa pada hari ini saya berhenti selaku kolumnis
ulama harian pemandangan dan majalah Pembangunan..... empat tahun yang lalu
saya menerima tawaran kedudukan kolumnisn utama aatas anjuran Bapak Djunaidi
dan kali ini pun bukan kehendak saya sendiri melainkan ada orang lain yang
meminta untuk menerimanya. Atas anjuran dan saan bebrapa teman saya yang
terkenal sebagai patriotis, saya memutuskan untuk menerima tawaran terrsebut.
Saya tetap menerima tawaran itu karena saya pikir sekalipun saya bekerja pada
biro informasi, saya tetap dapat menyumbangkan tenaga saya untuk pers dan
masyarakat” . selain itu, pada kemudian hari Tabrani jug berbicara tentang
penyebab ia mulai bekerja pada pemerintahan Hiadia-Belanda dengan menghubungkannya
dengan urus anti-fasisme pada saat itu seperti terlihat dalam ucapan Tjipto
mangunkusumo. Kompas, 16 Desember
1975 .
[15] Mengenai hubungan Thamrin dengan
Jepang, lihat Masuda Ato, op.cit.,
Bab III. Juga taniguchi goro, dalam esai,”Tamurin Dori” [jalan Thamrin], Waseda Gakuho, mei 1975, hlm.15-16,
selaku komunis utama Toindo Nippo,
teman akrab pada saat itu. Selain itu mengenai hubungan Jepang-Indonesia
menjelang perang. Lihat Nishijima Shigetada, op.cit., Goto ken’ichi, Hinoumi no Bohyo – Aru (ajia Shugisho) no
Ruten to Kiketsu – (nisan Lauta Api – pengembaraan dan pengakhiran seorang
(Asianisme)] – Tokyo: Jijitsushinsha, 1977.
[17] Taniguchi Goro, op.cit., hlm. 16. Thamrin terkenal
sebagai orang terdepan dalam sayap kanan golongan “pro-jepang,’’ Lagi pula,
hubungan dengan orang jepang demikian eratnya sehingga kematiannya merupakan
pukulan besar bagi masyarakat jepang di Indonesia. Misalnya, Toindo Nippo pada 11 Januari memuat
tajuk dengan judul “kematian Seorang Pelopor- kerugian besar bagi Dunia Politik
Hindia-Belanda.” Biro Wilayah Selatan Departemen Luar Negeri dalam Toindo Minzoku undo no Genji [ kondisi
nyata gerakan kebangsaan di Hindia-Belanda], september 1941, melaporkan hasil
pemantauannya bahwa penyitaan klise surat hanya merupakan suatu dalih,
sedangkan “peristiwa Thamrin” yang sebenarnya ialah demi memecah belah kekuatan
di dalam tubuh GAPI dan ini timbul dari “prasangka akan sesuatu hubungan dengan
Jepang dengan memanfaatkan kekacauan keadaan Asia Timur baru-baru ini (hlm.30).
selain itu buku ini juga memuat keterangan pihak pemerintah Hindia-Belanda
bahwa “pemikiran terhadap Tuan “Thamrin” itu bukanlah berdasarkan kecurigaan
atas hubungannya dengan luar negeri dan sebagainya,” (hlm.31)
[18] Ideologi dan aktivitgas hassan,
lihat Masuda Ato,” Indonesia no Nihonkan” [pandangan orang Indonesia terhadap
Jepang], Shakaikagaku Tokyu, Vol.20,
No.2-3 (maret 1975).
[19] Ali Sastoamidjojo, salah seorng
pemimpin Gerindo di Jawa sambil menekankan bahwa partainya masih berada dalam
suatu garis dengan Partindo (Partai Indonesia, dahulu partai Nasional
Indonesia) yang telah bubar pada bulan November setahun yang lalu, menerangkan
alasan mengapa partainya membuang garis kebijaksan non-kooperatif Partindo dan
mengambil garis kebijakan kooperatif karena (1) perubahan situasi; (2)
radikalisme sebagai kesadaran politik sudah cukup meresap dan (3) guna menjaga
keseimbangan dengan Parindra. Ali Sastroamidjojo, op.Cit., hlm.117
[20] Pedoman masyarakat, 28 Mei 1941,
hlm. 426-427.
[21] Soetan Sjahrir, op.cit., hlm.187.
[22] Toa Kenkyusho, Dai-III Chosa Iinkai Hokokusho – Nanyo kakyo
Konichi Kyukoku-undo No Kenkyu [Laporan panitia Penelitian III – penelitian
mengenai Gerakan Ati-Jepang dan gerakan penyelamatan Negara oleh Tionghoa
perantauan di Hindia-Belanda], Juli 1945. (Reprint, Ryukeishosha, 1978), hlm.
441
[23] Dalam pidato pada rapat umum
tersebut Amir Sjarifuddin berkata bahwa kebangsaan seseorang “tidak ditentukan
oleh darah, warna kulit ataupun bentuk muka, tetai ditentukan dengan membagi
suatu tujuan, nasib dan cita-cita secara brsama-sama,” sehingga memberikan
dampak besar terhadap masyarakat Tionghoa perantauan. Leo Suryadinata, op.cit., hlm.132.
[25] Ibid., 21 Desember 1937. Kondisi umum
Asosiasi Indonesia saat itu, lihat J.M. Pluvier, op. Cit., hlm. 120-121
[26] Ibid., 5 Februari 1942. Tulisan Hatta
berjudul “Rakyat Indonesia dan perang pasifik” yang dituliskan segera setelah
terjadi serangan Pearl harbor pun dengan nada sedih dan terdesak menekankan
bahwa harus segera menghancurkan fasisme Jepang untuk mewujudkan cita-cita
bangsa. Hatta, Kumpulan Karangan
(Jakarta: penerbitan Buku Indonesia, 1953), hlm. 144-145 (lihat Bab 2 buku
ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar