Minggu, 06 Januari 2013

Gerakan Kebangsaan Pada Tahun 1930-an Dan Jepang












1. Latar belakang
            Paper yang telah saya susun ini berisi tentang Gerakan kebangsaan pada tahun 1930-an dan jepang. Alasan pemilihan judul tersebut sudut pandang terhadap Jepang oleh dua orang intelektual berbangsa Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan di Belanda dan telah berkunjung ke Jepang pada tahun 1930-an, saat itu jepang dilanda gejolak demam “Kembali ke Asia” secara hebat, kemudian merekan pulang ke negerinya dengan membawa kesan yang sangat membekas walaupun kesan tersebut ada yang baik maupun tidak. Hal kedua mengenai pemikiran dan suatu segi aktivitas Dekker, seorang nasionalis gerakan kebangsaan dengan cara melibatkan diri dalam masalah Jepang secara khas.
            Selanjutnya, pada paper ini akan dibahas bagaimana pencerminan dari sudut pandang kaum intelektual seperti itu terhadap Jepang dan gerakan kebangsaan pada paruh kedua tahun 1930-an, yakni Parindra dan Gerindo,[1] dua partai berhaluan kebangsaan yang kuat. Hatta, Subardjo, dan Dekker yang telah disinggung tadi tidak berhubungan langsung dengan Parindra maupun Gerindro, namun pemikiran politis Gerindo mendapat pengaruh dari Hatta dalam berbagai hal, sedangkan Subardjo dan Dekker mempunyai koneksi erat dengan para pemimpin Parindra. Karena itu, jika melihat sudut pandang terhadap jepang delam Gerakan kebangsaan pada paruh kedua tahun 1930-an, dapat dimengerti bahwa pada hakikatnya” sudut pandang yang simpatik terhadap jepang” seperti yang ditujukan oleh Subardjo atau Dekker tersebut telah diwarisi oleh Parindra sedangkan “ Penilaian yang kalem terdahap jepang seperti dimiliki Hatta, telah mendasari sudut pandang gerindo.

2. Pembahasan
               Parindra dan Jepang
    1.1 Ciri khas Parindra

Pada paruh kedua tahun 1935, terdapat berbagai faktor perubahan dalam hubungan internasional di wilayah Asia-pasifik, seperti meningkatnya minat Jepang terhadap wilayah Selatan atau adanya pengakuan atas “philippine Commonwealth” yang memberikan batas otonomi yang sangat leluasa terhadap negara tetangga, filipina. Sebaliknya, di Indonesia, gerakan politis yang bersifat non-kooperatif terhadap belanda yang selama ini memimpin gerakan kebangsaan dipaksa bungkam pada saat itu. Denga lata bekanag “stabilitas” yang diberikan oleh kekuasaan besar pemerintah kolonial Belanda maka pada bulan Desember 1935 berdiri Perindra (Partai Indonesia Raya) yang berhaluan kooperatif moderat.

Parindra yang merupakan partai gabungan dua organisasi politik yang ada selama ini, yaitu Budi utomo (didirikan pada tahun 1908), organisasi sosial-politik paling tua,  dan Partai Bangsa Indonesia (didirikan pada tahun 1930), yang tergolong organisasi politik baru dan secara akfit melancarkan gerakan guna membangkitkan kesadaran dibidang sosial ekonomi yang terpusat di Jawa Timur, terutama di Surabaya. Dengan demikian, Parindra menjadi partai politik terbesar di Hindia-Belanda pada periode paruh kedua tahun 1930-an dan mempunyai keterkaitan yang erat dengan jepang yang berupaya berekspansi ke Selatan. Selanjutnya, supaya uraian mengenai sudut pandang Parindra terhadap jepang menjadi lebih jelas, sebelumnya dijelaskan secara singkat ciri khas politik yang penting yang terdapat pada partai ini.

Seperti yang diketahui dari asal-usul keenam pimpinan partai,[2] partai ini dipimpin para intelektual Jawa yang kaya dan para priyayi yang progresif dan memiliki basis pendukung yang berasal dari golongan kaya di berbagai daerah.[3] Sebagi prinsip, partai merekan secara aktif berusaha mendapatkan kursi dalam Volksraad pada tingkat pusat maupun provinsi, dan hal itu terbukti dari perolehan kursi terbanyak sebagai partai politik bangsa Indonesia dalam Volksraad (pada awal pendirianya, partai ini berhasil mengirimkan dua orang anggota, yaitu R.M.A Koesoemo Oetojo dan Soekardjo Wrijopranoto).

Dalam anggaran dasar partai disebutkan bahwa tujuan dan gagasan ide partai paling mendasar adalah mewujudkan “Indonesia Mulia (dengan pengertian Indonesia yang makmur). Meskipun saat itu kata-kata ideologis “Merdeka”lah yang paling digandrungi dalam gerakan kebangsaan, Soetomo sebagai ketua partai dalam aktivitas politiknya tetap mengutamakan misi partai untuk mewujudkan Indonesia “Mulia” tersebut. Menurutnya, mewujudkan “merdeka” tidak otomatis membawa kemakmuran bagi suatu bangsa, tetapi mewujudkan “masyarakat yang makmur” pasti dilandasi kemerdekaan terlebih dahulu.[4] Partai yang dipimpin oleh kaum intelektual Jawa yang tergolong lapisan kaya dan menitikberatkan aktivitas yang mengacu pada reformasi ini, mencoba mencari model modernisasi Indonesia bukan dari negara-negara Barat melainkan dari negara maju dikawasan Asia. Pada kesempatan berkunjung tersebut, Soetomo terkesan dan diilhami oleh cara penerapan ideologi “Wa-kon Yo-sai” (menerapkan ilmu dari barat dengantetap mempertahankan jiwa bangsa Jepang) serta sejenis kemiripan yang terdapat di antara budaya tradisional Jepang dengan kebudayaan Jawa.[5] 

                1.2 Sudut Pandang Parindra terhadap Jepang
         Partai –partai politik bangsa Indonesia saat itu pada umumnya menyatakan sikap kritis terhadap fasisme. Tetapi pemahaman mengenai fasisme Jepang terdapat perbedaan pendapat. Parindra tidak mempetimbangkan kesamaan hakikat antara imperialisme Jepang dengan imperialisme Belanda, dan mempercayai Jepang guna memanfaatkan kekuatan jepang (bagi gerakan kebangsaan). Karena itu, mereka tidak menunjukan perlawanan saat berhadapan dengan peningkatan meliterisme Jepang.[6] Parindra berbeda dengan Hatta dan kawan-kawan yang berpenapat bahwa mewujudkan perdamaian abadi diantara Jepang dengan Tiongkok atas dasar asas kesamaan derajat mutlak diperlukan demi stanilitas Asia.memandang konfrontasi total antara Jepang dan Tiongkok ini bagaikan “kebakarandiseberang tepi sungai.”[7] Partai ini selalu mengambil ”jarak” dari tiongkok. Hal itu dapat diketahui dari beberapa hal, seperti, tidak pernah diizinkan keanggotaan partai bagi Tionghoa Perantauan,[8] atau tidak pernah disinggung Tiongkok sebagai suatu “model” negara Asia yang harus dipelajari oleh Indonesia, padahal Jepang, Filipina, dan India sering disebut sebagai contoh negara Asia.
                        Soeara Parindra juga sering menurunkan tulisan mengenai kebijaksanaan ekspansi Jepang itu sendiri. Soeara Parindra memang selalu menyadari adanya minat besar Jepang terhadap Selatan dan sadar bahwa Jepang melihat terutama Indonesia sebagai kunci hidup bagi Jepang, karena wilayah tersebut merupakan sumber pemasok bahan-bahan mentah, pasar bagi Produk industri Jepang, dan sekaligus sebagai tempat tujuan emigrasi rakyat Jepang. Walaupun demikian, artikel-artikel mereka tidak menilai hal-hal tersebut sebagai “ekspansi fasisme jepang yang mengerikan telah mengarah ke Selatan.” Malah orang-orang penting dalam partai Parindra, seperti Thamrin, bukannya menyatakan kewaspadaan terhadap jepang, tetapi mulai terang-terangan menyatakan rasa kecewanya terhadap belanda, karena pemerintah Hidia-Belanda berkali-kali menggagalkan mosi tuntutan reformasi di Volksraad. Artikel ini dengan jelas menceritakan kondisi selama itu. Situasi krisis yang dapat menimbulkan perang memang ada pula di kawasan Pasifik. Surat berbahasa Belanda mengkhawatirkan kemungkinan Jepang mulai menggarap wilayah Selatan sebagai kolonial mereka. Jika terjadi bentrokan dengan Jepang dan jika kemudian Belanda kalah, tanah dan bangsa Indonesia akan jatuh ke tangan Jepang. Surat kabar- surat kabar brbahasa Indonesia pun mengangkat masalah ini dalam pemberitaan dan mengusulkan agar masalah ini dirundingkan brsama-sama oleh wakil pemerintah Hindia-Belanda dengan bangsa Indonesia. Tetapi saat ini sesudah usul Sutardjo yang menyarankan perundingan antara kedua pihak itu ditolak, kita tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi dari Belanda...singkat kata bangsa kita tidak mempunyai kekuasaan ataupun hak untuk membangun suatu negara Indonesia.[9] Parindra memang menyadari ambisi Jepang ke wilayah Selatan. Tetapi bagi Parindra, Belandalah yang menjadi musuh utama untuk sementara waktu, sedangkan terhadap Jepang sebagai “musuhnya musuh” mereka memberi reaksi yang sangat naif karena ada rasa simpati terhadap Jepang sebagai tradisi partai, seperti diuraikan diatas. Walaupun kemudian sesudah kedudukan Jepang semakin terisolir dalam kencah politik internasional kawasan Asia-Pasifik dan kritik trhadapt Jepang di dalam negeri Indonesia mencapai suatu titik, pada dasarnya rasa simpati para mayoritas orang Parindra tetap tidak mengalami perubahan. Bahkan sepeninggal Soetomo (Mei 1938), dibawah kepemimpinan Thamrin, ketua bagian Politik yang dalam kenyataanya berlaku sebagai pimpinan tertinggi partai, parindra meningktakan kecenderungan untuk tertatik ke Jepang yang mengibarkan slogan “Asia untuk bangsa Asia”


2   Perdebatan Husni Thamrin dengan M. Tabrani
2.1 Kedudukan Politik Thamrin
Thamrin[10] telah menjadi perhatian orang di pusat gelanggang politik sebagai harapan pergerakan nasional golongan moderat, sejka menjadi anggota Volksraad pada usia muda, 33 tahun (karena dr. Sortomo menolak menjadi anggota dewan) pada tahun 1927. Setelah itu Thamrin yang semakin memperkuat kedudukannya sebagai Politikus dewan dengan mendirikan fraksi Nasional”[11] dalam Volksraad itu, pada satu pihak, juga menjalin hubungan erat dengan Sukarno dan para pemimpin muda PNI lainnya yang tengah tampil ke panggung pergerakan nasional dengan cemerlang, yang pernah berprinsip tidak akan bekerja sama dengan Belanda.
     Dari karier aktivitas politik yang menjadikan Volksraad dan Parindra sebagai fundamennya, yang demikian pun dapat kita ketahui bahwa Thamrin bermaksud memperluas otonomi Indonesia dan sekaligus memungkinkan kemerdekaannya melalui kerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dia sendiri membangunkan diri sebagai “Manuel Quezon Indonesia,” dan dari penilaiannya yang tinggi terhadap kemerdekaan yang ditempuh oleh Filipina itu pun boleh dikatakan pencerminan akan hal tersebut. Parindra secara tradisional memang memperlihatkan simpatinya terhadap Jepang, dan mendekati akhir tahun 1930-an, dalam berbagai tingkat, di antara anggota partai mulai terlihat kontrak yang bersifat politis secara konkret dengan jepang.[12] Thamrin sendiri juga merupakan salah satu pemimpin yang tidak dangkal hubungannya dengan jepang, masih tetap berdiri pada puncak pergerakan nasional dalam lingkupan legal, pada bulan mei 1939, ia mengambil inisiatif atas terbentuknya GAPI[13] (Gabungan Politik Indonesia), yang ia sendiri menjabat sebagai anggota pengurus harian.

2.2 Kedua Belah Pihak setelah Polemik
Di tengah-tengah situasi dalam dan luar negeri yang melibatkan Indonesia, Tabrani sebagai “pencetus” Polemik Thamrin-Tabrani itu, memuat karangan penjelasan dengan judul “permintaan berhenti” dalam harian Pemandangan , 22 Oktober, setelah dia bekerja sekitar 4 tahun sebagai pemimpin redaksi. Dia menyatakan akan meletakkan jabatan pemimpin redaksi harian tersebut dan menjadi pegawai tinggi Departemen informasi Pemerintah Hindia-Belanda. Perubahan status yang sangat tiba-tiba dan terlalu “menonjol” ini merupakan kejadian hanya 2 bulan setelah “polemik” tersebut.[14]
Thamrin sangat memperhatikan keadaan pergerakan nasional Indonesia saat itu, dan selalu melakukan pertukaran pikiran dengan amat terus terang dari hati ke hati mengenai situasi internasional maupun sosial kemerdekaan Indonesia dengan sebagian orang jepang yang berusaha mendekati Parindra ataupun sebagian pemimpin partai tersebut, baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Terlebih-lebih, pada bulan Maret 1940, ketika Sato Nobuhide yang merupakan Direktur kantor Perwakilan Biro Ekonomi Kota Madya di Batavia yang baru didirikan dan jufa merangkap sebagai pegawai kontrak pada Markas Besar Kepala Staf Angkatan Laut itu bertugas, dia melakukan pengumpulan informasi tentang ekonomi sebagai referensi untuk perundingan perdagangan Jepang-Belanda yang direncanakan dibuka pada bulan September. Lebih lanjut, dia berusaha keras memahami keadaan nyata prgerakan nasional maka, Thamrin brsama-sama Douwes Dekker pun menjadi saluran informasi yang kuat bagi Sato.[15]

2.3 Peristiwa Thamrin
     Pada tanggal 6 januari 1941 malam, Thamrin yang baru kembali dari rapat pleno Parindra cabang Jawa Tengah dan membaringkan tubuhnya yang nampak sangat lelah di kamar pridabinya terkejut, karena tiba-tiba rumahnya digeledah oleh penguasa kolonial. Mendahului penggeledahan rumah Thamrin ini, lewat siang hari, jawatan kejaksaan Batavia mengadakan penggledahan pada percetakan pemandangan di jalan senen dalam kota, dan menyita klise surat pribadi Thamrin yang dikirimkan kepada Tabrani sebelum terjadi “polemik” surat itu, mengecam pemerintah Belanda yang mengungsi ke London itu sebagai “pengecut.” Tabrani, sebagai pemimpin redaksi membuat klisenya dan menyimpan ke dalam peti kemas harian tersebut.[16] Akibat, sepucuk surat pribadi yang ditujukan kepada Tabrani menjadi pencetus “peristiwa Thamrin.” Mengenai hal ini, tabrani pada tahun-tahun belakangan melukiskan keadaan seluk-beluk yang amat rumit pada saat itu.
     Setelah pada tanggal 11 januari 1941, lima hari setelah peristiwa penangkapan itu, Thamrin yang menjalani hukuman kurrungan rumah dan penyakitnya yang kambuh dan panas tinggi karena kelelahan, meninggal dunia dlaam masa jayanya 47 tahun, sambil mengeluarkan “air ludah Hitam” tanpa henti-hentinya,[17] setelah diperiksa dr. Kayadoe yang ditugaskan oleh kolonial. Ini mrupakan penutup peristiwa yang mencatat dalam sejarah modern indonesia sebagai “Peristiwa Thamrin” pada hari itu. Pada saat ini, sangat sulit untuk mengetahui decara detail tentang bagaimana caranya Thamrin yang pada hari-hari akhir hidupnya yang penuh dengan ombak kejadian itu menanggapi jepang, dan apa hubungan yang sebenarnya antara dia dengan Jepang. Hanya, jika mengikuti jejak-jejak secra garis besar hubungan dengan Jepang itu, misalnya, ia tidak sama dengan orang awam seperti Joesoef Hassan[18] yang berusaha mempercayai jepang dengan mempertarukan semua eksistensi dirinya dan akhirnya tidak terbalaskan itu, sedangkan pada diri Thamrin, dia berperan sebagai “orang yang terlatih,” menimbang perbandingan kekuatan dalam hubungan internasional tetapi tidak tahu akan kesudahannya dan agaknya bukan mustahil dari dirinya kita dapat melihat sebuah gambaran politikus yang bersifat realis dn bertipe otoriter, yang mencoba memanfaatkan energi “Nanshin (ekspansi ke Selatan)” Jepang untuk pergerakan nasioanl sekaligus brusaha memperoleh keagungan pada dirinya. Jika melihat tanggapan umum atas diri Thamrin di dalam negeri Indonesia pada sekarang ini, dan juga terdapat persamaan pandangan yang luas yang menilai kematiaanya sebagai korban yang pedih dari penjajahan, namun penilaian atas diri Thamrin yang dinamis yang lebih lanjut tidak dilakukan, barangkali bertalian dengan hubungan dia dengan Jepang atau ambisi dirinya dan sebagainya.

3. Sudut Pandang Gerindo terhadap Jepang
3.1 Sikap Politis Gerindo
            Partai Gerindo debrntuk pada bulan Mei 1937 terutama oleh orang-orang berhaluan kiri yang tidak puas atas sifat konservatif Parindra.[19] Sejak berdirinya, Gerindo berasumsi bahwa faktor utama penyebab ketegangan situasi internasioanl saat itu adalah pertarungan di antara kekuatan kelompok demokratis dengan kekuatan kelompok fasis. Jadi mereka berpendapat bahwa untuk memerangi fasisme, Belanda dan Indonesia yang sama-sama menganut paham demokratis harus bersatu atas dasar kesamaan pokok tanpa mempermasalahkan perselisihan-perselisihan kecil. Mereka pun menekankan bahwa perbedaan yang terdapat di antara paham fasisme dengan paham demokratisme yang sangat fundamental adalah jauh besar daripada perbedaan warna kulit.
     Sikap politis Gerindo seperti ini seterusnya tetap dinyatakan. Pendapat Amir Sjarifudin dalam tulisan “Demokrasi dan Resolusi Grapi” merupakan pertanyaan simbolis sikap tersebut. Dalam tulisan itu ia berucap bahwa saat ini merupakan zaman konfrontasi luar negeri dan demokrasi di luar negeri sampai kalah oleh fasisme, demokrasi di dalam negeri pun akan mengalami kemunduran. Jika hal itu terjadi, betul-betul merupakan situasi gelap. Hanya dengan mewujudkan demokrasi, baru dapat membangun masyarakat yang adil dan damai.[20]

3.2. Sudut Pandang terhadap Perang Jepang-Tiongkok
     Tindakan militer Jepang dalam perang Jepang-Tiongkok, Gerindolah yang di antara organisasi politik Indonesia saat itu yang paling jelas menyatakan pendapat bahwa tindakan tersebut melanggar hukum internasional dan merupakan intervensi yang dilakukan oeh militerisme dan fasisme Jepang. Pernyataan pendapat tersebut kontras dengan sudut pandang parindra yang mengamati jepang melalui sudut pandang simpatik terhadap logika Jepang terhadap militer Jepang di Tiongkok tidak berdasarkan dukungan dri rakyat umum, tetapi berdasarkan caa pikir ala Barat terhadap situasi internasional, dan sudut pandang kritik seperti itu boleh dikatakan hanya dimiliki terbatas oleh kaum intelektual radikal kota yang memunyai toleransi psikis terhadap kaum intelektual Gerindo dan pada saat itu diasingkan di Bandanaira sangat menyesalkan Perang Jepang-Tiongkok dengan kata “orang Tionghoa seharusnya patut menerima simpati dan dukungan rakyat Indonesia, tetapi yang terjadi Jepanglah yang menerima dukungan dri rakyat Indonesia” [21]
     Gerindo yang melancarkan kritik tajam atas tindakan luar negeri Jepang yang digelar dikawasan Asia-Pasifik, mengambil sikap dapat menerima kerja sama dengan pihak orang Tionghoa perantauan atas dasar sudut pandang anti fasisme Jepang. Sikap tersebut membedakan dengan Parindra. Sebagai tindak nyata maka pada tanggal 8 November 1937 Gerindo mengumumkan, “ Deklarasi mengenai upaya bantuan oleh partai terhadap gerakan pengiriman bala bantuan ke Tiongkok oleh orang Tinghoa Perantauan dalam rangka usaha mematahkan aksi militer Jepang di Tingkok.”[22] Begitu pula Gerindo pada bulan Agustus 1939 dalam rapat akbar partai ke-2 (diselenggarakan di Palembang) memutuskan untuk membuka keanggotaannya terhadap Tionghoa Perantauan[23] dan mengimbau pula dewa pimpinan cabang partai agar memberikan dukungan kepada orang Tionghoa perantauan yang melakukan gerakan bantuan untuk Daratan Tingkok.[24]
     Selanjutnya dalam kaitanya dengan sikapa Gerindo terhadap perang Jepang-tiongkok akan diuraikan  sepintas mengenai aktivitas Perhimpunan Indonesia, organisasi pelajar Indonesia di Belanda. Berbeda dengan Serikat indonesia, organisasi pelajar Indonesia di Jepang, yang mempunyai hubungan dekat dengan Parindra dan dengan segera menyatakan sikapnya yang mendukung tindakan militer Jepang di Daratan Tiongkok, perhimpunan Indonesia pada bulan Desember 1937 dalam rapat umum yang diselenggarakan di Leiden menyebut Jepang sebagai “jerman di Asia” dan menilai bahwa
1.      Penyerangan Jepang terhadap Tingkok merupakan tindakan tidak manusiawi yang melanggar hukum internasional,
2.      Lemahnya sikap negara-negara demokratis serta kelakuan yang arogan negara-negara fasis meningkatkan bahaya perang bagi Indonesia,
3.      Bahaya ini tidak hanya manjadi ancaman bagi Indonesia, tetapi juga bagi Belanda. Dari hal tersebut merupakan mendeklarasikan perlunya tindakan pertahanan secara bersama-sama untuk menyelamatkan kepentingan bersama bagi kedua belak pihak.[25] Dalam kesempatan ini pula ketua perhimpunan Indonesia, P.Lubis, berbicara dengan judul “Situasi tanah air Indonesia dalam hubungannya dengan perang Jepang-Tiongkok”.

Pada awal Februari 1942 setelah “perang Asia Timur Raya” Pecah dan pendaratan militer Jepang di Indonesia sudah tinggal menunggu waktu, Gerindo menegluarkan prnyataan sebagai berikut, yang menandakan secara jelas situasi sulit bagi kaum nasionalis saya kiri yang kian tersudut pada saat itu: perang besar saat ini timbul akibat fasisme. Perang ini bukan perang diantara pihak pemerintah Hindia-Belanda dengan kekaisaran Jepang (Dainippon Teikoku), tetapi merupakan penyerangan fasisme terhadap negara kita. Karena itu kita harus berdiri di pihak demikrasi dan menangkakis serangan Jepang. Jika kekuatan fasisme yang menang, Hal itu membawa kepunahan bagi demokrasi sedunia.[26]

Kesimpulan
Hampir sepuluh tahun setelah “Masalah Lautan Pasifik” muncul di Indonesia, bayangan gelap Jepang di wilayah Lautan Pasifik Barat terasa semakin pekat dengan sangat cepat. Begitu pula bagi gerakan kebangsaan Indonesia,” Masalah Lautan Pasifik” mau tidak mau langsung merupakan “masalah Jepang.” Dalam situasi demikian, Parindra yangmewakili kaum nasionalis sayap kanan dan lebih bersifatpribumi/jawa, melakukan pendekatan terhadap Jepang dengan mengandalkan harapan “Kesanaan Bersifat Asianis,” akibat hubungan mereka dengan pemerintah Hidia-Belanda yang masih tetap mempunyai kekuasaan besar memburuk. Sedangkan partai politik berhaluan kiri Gerindo yang dari segi Faham lebih radikal, semakin tegas menyatakan pendirian anti-fasisme Jepang” berdasarkan anggapan bahwa dengan perantauan “Demokratisme” mereka dapat bekerja sama dengan pihak penguasa Belanda di atas dasar yang sama. Persaingan antara kedua paham mengenai Jepang seperti itu menjadi ciri Khas yang satu dengan yang bersifat sangant kontras dalam bubungan anrata gerakan kebangsaan Indonesia dengan jepang sejak paruh kedua tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 1940-an.
     Pemahaman terhadap Jepang yang telah di uraikan di atas bagi kedua partai politik nasional utama dan para tokoh intelektualnya sudah barang tentu hanya merupakan sebagian dari pemahaman ideologis yang mereka miliki. Karenanya pemahaman itu mungkin tidak bisa dijadikan kunci tetap untuk memahami sudut pandang mereka. Walaupun demikian, dua sudut pandang yang masing-masing melihat Jepang sebagai “teman se-Asia” yang memiliki “Bushido (Samuraisme), yang mempunyai kesamaan dengan Ksatriaisme Jawa,” atau melihat Jepang sebagai “negara fasis” yang tidak mengenal kompromi dengan “demokratisme” sebagai nilai tertinggi merupakan permasalahan politis yang sangat penting bagi gerakan kebangsaan Indonesia saat menjelang pecah perang.

3. Daftar Pustaka
Ishizawa, Yutaka. Ran-in genjo dokuhon [Buku tentang Keadaan Hindia-Belanda], Shinchosa, 1940.
________,”Nitchu senso to Tonan Ajia kakyo” [Perang jepang-Tiongkok dan Keturunan Tionghoa di Asia tenggara], Nihonkokusaiseijigakkai Nichu senso to kokusaiteki taio [Perang jepang-Tiongkok dan Redaksi Internasional], Yuhikaku, 1928.
Ohata, Tokushiro. Nihon gaiko seisaku no shiteki tenkai [Perkembangan dari Perspektif Sejarah Tindakan Politik Diplomasi Jepang], Seibundo, 1983.
Gaimusho Nan-yokyoku. Toindo minzoku undo no genjo [Keadaan Sebenarnya dari Gerakan Nasionalisme Hindia-Belanda], vo. 4 dari Nancho, 1941.
Kimura, Tokio. Nihon nashonarizumu no kenkyu [Penelitian Nasionalisme Jepang], Maenoshoten, 1961.
Kishi, Koichi.” Taiheiyo senso eno michi toshiteno Nampo seisaku Kettei” [Keputusan Tindakan Politik Wilayah Selatan Sebagai Jalur Ke perang Pasifik], Toyokenkyu, Februari 1964.
Kindai Nihon kenkyu. Taiheiyu senso [Perang Pasifik], Yamakawashuppansha, 1982.
Goto, Ken’ichi. Jepang Dan pergerakan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor indonesia, 1998
Goto, Ken’ichi.” Senzenki Indonesia Ryugakusei no Nihonkan: Mahjudding Gaus kaisoki ni tsuite” [Pemandangan Mahasiswa dari Indonesia pada Massa Sebelum Perang: Tentang Kenang-kenangan Mahjuddin Gaus], Shakaikagaku tokyu 28-2, Maret 1983.
Nakayama, Yosuto.” Ran-in no genjo to sono doko” [Keadaan Nyata Hindia-Belanda dan Gerakannya], Gendai, September 1941.
Nagazumi, Akira. Oranda Higashi Indo gaisha [Kompeni Hindia-Belanda], Kondoshuppan, 1980.
Imam Soepardi. Kenang-kenangan atas Kematian M.H. Thamrin. Surabaya: Pustaka Nasional, 1941.
Soehoed Prawiroatmodjo. Perlawanan bersenjata terhadap Fasisme jepang. Jakarta: merdeka Press, 1953.
Soekanto, S.A. Matahari Jakarta: Lukisan Kehidupan M.H.Thamrin. Jakarta: pustaka Jaya, 1974.



 Catatan kaki:

[1] Sejarah keseluruhan gerakan kebangsaan nasional pada saat itu, Lihat A.K. Pringgodogdo, Sejarah pergerakan Rakyat Indonesia (jakarta: Pustaka Rakyat,1950): Jan M, Pluvier, Overzichit van de Ontwikkeling der nationalistische Beweging in Indonesia in de Jaren 1930 tot 1942 (Gravenhage: van Hoeve, 1953); George Mct. Kahin, Nationalism and revolution ini Indonesia (Ithaca: Cornell Univ. Press, 1952): dan lain-lain. Penelitian Wertheim juga menyinggung masalah polarisasi gerakan kebangsaan yang terpusat pada Parindra dan gerindo. Ia menganalisis bahwa Parindra yang  mewakili demokratisme borjuis merasa dekat dengan Jepang dan gerindo yang lebih Radikalis memandang jepang sebagai fasis yang berbahaya serta secara giat berusaha bekerja sama dengan demokratisme Barat W.F. Wertheim, Indonesia Society in Transition (2nd ed.) (The Hague and Bandung: W. Hoeve, 1959), hlm. 74-75, 323.
[2] Nama keenam pimpinan tertinggi tersebut, dr. R Soetomo, K.R.M. Woerjaningrat, MR.DR.R.Ng. Soebroto (Sekretaris I), M, Soendjoto (Sekretaris II), R.Roeslan wongsokoesoemo (wakil Sekretaris), R. Soedjono (kepala Bagian Keuangan). Dari gelar kebangsawanan atau gelar kesarjanaan, mereka pun dapat mengetahui salah sebagian sifat parindra. Soeara Parindra (Maret 1936), hal. 5-6
[3] Mengenai hal ini, misalnya, dalam buku penelitian pihak jepang, wada Hisanori, Mori hiroyuki, suzuki Tsuneyuki, Tonan Ajia gendaishi Vol. I Indonesia {Sejarah Asia tenggara (1) Indonesia}, Tokyo: yamakawa Shuppan, 1997, menulis,” (Parindra) seperti telihat dalam aktifitasnya yang mendukung lapisan borjuis kecil dan petani kaya dengan berbagai cara, partai tersebut melakukan usaha mendukung pemerintah yang berniat memupuk industri kecil sebagai upaya penanggulangan krisis ekonomi, sehingga mendapat dukungan dari lapisan borjuis  kecil dan petani kaya,”(hlm.203). “sifat borjuis” partai ini menimbulkan kritik dari nasionalis sayap kiri. Masyarakat yang berhaluan Pendidikan Nasional indonesia yang dipimpin Sjahrir dan lain-lain, secara tajam dan pedas menilai Parindra dengan menyebutnya sebagai “penghianat rakyat.” J.M. Pluver (terjemahan oleh Soewignjo), Ikhtisar Perkembangan pergerakan kebangsaan di Indonesia dari Tahun 1930 sampai tahun 1942 (mimeo. Jakarta 197?), hlm.115. tetapi Parindra sendiri pada setiap kesempatan menyatakan,” . adalah kesalahfahaman bilamana menyebut partai kami sebagai organisasi suky jawa atau hanya mementingkan kepentingan lapisan masyarakt atas” sambil menunjukan hal-hal di bawah ini sebagai alasan; (1) partai pendukung kegiatan Rukun Tani (sejenis koperasi petani); (2) partai menggunakan bahasa Indonesia (bukan bahasa jawa sebagai bahasa resmi; (3) 81 persen kursi pimpinan dari jumlah kursi pimpinan di cabang-cabang luar jawa diduduki bukan orang  jawa dan lain-lain, Soeara parindra (April 1939), hlm 13-14.
[4] Slamet Muljana, op.cit., hlm 57058. Juga makalah : Savitri Scherer,” Soetomo and Trade Unionism”, Indonesia 24 (Oktober 1977), hlm. 37-38.
[5] Soetomo sejak bulan Maret 1939 selama setahun berkeliling ke luar negeri dan singgah pula ke Jepang pada musim semi saat Subarjo berada di Jepang. Ia mengirimkan artikel secra seri yang menceritakan pengalammnya selama itu ke Soeara Umum yang berhaluan Perindra. Di dalam artikel tersebut ia sangat memuji modernisasi Jepang denga bangsa Indonesia. Saat berada di Tokyo, soetomo sangat terkesan dan terharu melihat pertunjukan kabuki dan berkomentar,” Walaupun jepang telah mengalami modenisasi, sama sekali tidak kehilangan warisan kesenian tradisional sendiri... tidak begitu besar perbedaan kebudayaan tradisional Jepang dengan kebudayan kita sendiri,” Soeara Parindra  (Mei 1936), hlm. 12 mengenai pujian Soetomo terhadap Jepang seperti itu, liem Koen Hian, pimpinan partai Tinghoa Indonesia (PTI) dan juga pemimpin orang Tionghoa Perantauan berhaluan “pembauran” mengkritiknya dalam harian Sin Po dengan menulis bahwa pujian Soetomo hanya merupakan hasil pemantauan seorang turis yang dangkal dan tidak menyinggung serangan-serangan Jepang terdahap negara-negara sekitarnya dan kecondongan imperialisnya. Polemik kedua tokoh tersbut setelah itu berlanjut dan menghebat. Sampai pada suatu titik, Liem mengecam Soetomo sebagai “juru propaganda jepang” dan di akhirinya perdebatan mengarah ke perdebatan yang bersifat pribadi. Mengenai detail polemik tersebut, Lihat Leo Suryadinata, peranakan Chinese Politics in java 1917-1942 (Singapore: Inst. Of Southeast Asian Studies, 1976)hlm. 127-129. Sedangkan mengenai pandangannya terhadap pendidikan talah jelas dalam polemik kebudayaan dengan S. Takdir Alisjahbana dan lain-lain. Untuk rincianyya luhat Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (jakarta: pustaka jaya, 1977).
[6] Ali Sastromidjojo, Tonggak-tonggak di perjalananku (jakarta: Kinta, 1974), hlm. 120
[7] Mengenai hal ini, Abeyasekere menunjukan terdahap suatu perasaan dekat terhadap jepang  baik pada orang-orang Parindra meupun pada masyarakt secara luas dan mengenai alsan mengapa tidak terjadi argumentasi mengenai imperialisme Jepang sebagai akibat perang Tiongkok-Jepang, ia berpendapat bahwa suatu pengakuan terhadap logika Jepang yaitu pertentangan tidak terdapat di antara Jepang dengan tiongkok, tetapi terdapat di antara jepang dengan negara adikuasa Barat yang mengeksploitasi Tiongkok. Susan Abeyasekere, One Hand Clapping: Indonesia Nationalist and the Dutch 1939-1942 (Centre of  Southeast Asia Studies, Monast Univ., 1976), hlm. 20
[8] Pada rapat umum ke-2 yang diselenggarakan pada bulan Desember 1938 di Bandung, thamrin menyatakan pendapatnya bahwa untuk sementara waktu tidak boleh menerima peranakan mana pun sebagai anggota partai. Leo Suryadinata, op.cit., sejak itu prinsip tersebut tidak pernah berubah.
[9] Soeara Parindra (April 1939), hlm.125,128. Majalah ini tidak terbit lai sejak januari 1942. Dalam edisi terakhir Soetedjo menurunkan tulisan yang berjudul “masalah Demokrsi” yang antara lain berbunyi” saat ini dimana-mana diperdebatkan masalah demokrasi dengan totalitarisme. Saya sengaja tidak mempermasalahkan benar-tidaknya anggapan itu,” dan dengan demikian ia menyindir kebijaksanaan belanda sebagai suatu negara demokrasi. Ibid. (Januari 1942), hlm. 80.
[10] Adapun karangan-karangan mengenai Thamrin sebagai berikut: Imam Soepardi, kenang-kenangan atas kematian M.H. Thamrin (Surabaya: Pustaka National, 1941); matu Mona, Riwayat Hidup dan Perjuangan Muhammad Husni Thamrin (jakarta: Bintang Mas, 1952); Soekanto S.A matahari jakarta: Lukisan Kehidupan M.H. Thamrin (jakarta: percetakan Negara, 1958) yang diterbitkan untuk memperingati 16 Tahun kematian Thamrin. Sedangkan mengenai “riwayat Hidup dan Perjuangan Muhammad Husni Thamrin,” karangan Matu Mona yang tersebut di atas itu terdapat penjelasan rinci oleh Masuda Ato, Indonesia Gendaishi (Sejarah Modern Indonesia), Tokyo: Chuokoronsho, 1971.
[11] Mengenai latar belakang berdirinya “fraksi nasional” dan isi aktivitas dan sebagiannya, lihat Sartono Kartodirjo, Nugroho Notosusanto, marwati Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia (vol. V) (Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm. 222-229.
[12] George S. Kanahele, “ The japanese Occupation of Indonesia: Prelude to Independence,” Bab I. Di samping itu , keadaan nyata “ usaha pendekatan” terhadap kaum nasionalis oleh Jepang terjadi sejak Paruh kedua tahun 1930-an sampai menjelang perang. Adapun sebagai uraian rinci dari pihak pemerintah Belanda adalah The netherland East-Indies Goverment, ten Years of Japanese Burrowing in the Netherlands East_Indies (N.Y., 1942).
[13] Mengenai GAPI, secara rinci lihat buku-buku yang tercantum namanya pada nomor (1). Sedangkan sebaian hasil penelitian oleh orang Indonesia, Umi Prahastuti, Gabungan Politiknya Indonesia (belum terbit), yang disampaikan dalam Seminar Sejarah Nasional II, 1970.
[14] Pemandangan, 22 Oktober 1940. Di sini diutarakan sebagai berikut: tidak pernah terbayangkan oleh khalayak ramai, bahkan oleh saya sendiri bahwa pada hari ini saya berhenti selaku kolumnis ulama harian pemandangan dan majalah Pembangunan..... empat tahun yang lalu saya menerima tawaran kedudukan kolumnisn utama aatas anjuran Bapak Djunaidi dan kali ini pun bukan kehendak saya sendiri melainkan ada orang lain yang meminta untuk menerimanya. Atas anjuran dan saan bebrapa teman saya yang terkenal sebagai patriotis, saya memutuskan untuk menerima tawaran terrsebut. Saya tetap menerima tawaran itu karena saya pikir sekalipun saya bekerja pada biro informasi, saya tetap dapat menyumbangkan tenaga saya untuk pers dan masyarakat” . selain itu, pada kemudian hari Tabrani jug berbicara tentang penyebab ia mulai bekerja pada pemerintahan Hiadia-Belanda dengan menghubungkannya dengan urus anti-fasisme pada saat itu seperti terlihat dalam ucapan Tjipto mangunkusumo. Kompas, 16 Desember 1975 .
[15] Mengenai hubungan Thamrin dengan Jepang, lihat Masuda Ato, op.cit., Bab III. Juga taniguchi goro, dalam esai,”Tamurin Dori” [jalan Thamrin], Waseda Gakuho, mei 1975, hlm.15-16, selaku komunis utama Toindo Nippo, teman akrab pada saat itu. Selain itu mengenai hubungan Jepang-Indonesia menjelang perang. Lihat Nishijima Shigetada, op.cit., Goto ken’ichi, Hinoumi no Bohyo – Aru (ajia Shugisho) no Ruten to Kiketsu – (nisan Lauta Api – pengembaraan dan pengakhiran seorang (Asianisme)] – Tokyo: Jijitsushinsha, 1977.
[16] Toindo Nippo, 13 Januari 1941.
[17] Taniguchi Goro, op.cit., hlm. 16. Thamrin terkenal sebagai orang terdepan dalam sayap kanan golongan “pro-jepang,’’ Lagi pula, hubungan dengan orang jepang demikian eratnya sehingga kematiannya merupakan pukulan besar bagi masyarakat jepang di Indonesia. Misalnya, Toindo Nippo pada 11 Januari memuat tajuk dengan judul “kematian Seorang Pelopor- kerugian besar bagi Dunia Politik Hindia-Belanda.” Biro Wilayah Selatan Departemen Luar Negeri dalam Toindo Minzoku undo no Genji [ kondisi nyata gerakan kebangsaan di Hindia-Belanda], september 1941, melaporkan hasil pemantauannya bahwa penyitaan klise surat hanya merupakan suatu dalih, sedangkan “peristiwa Thamrin” yang sebenarnya ialah demi memecah belah kekuatan di dalam tubuh GAPI dan ini timbul dari “prasangka akan sesuatu hubungan dengan Jepang dengan memanfaatkan kekacauan keadaan Asia Timur baru-baru ini (hlm.30). selain itu buku ini juga memuat keterangan pihak pemerintah Hindia-Belanda bahwa “pemikiran terhadap Tuan “Thamrin” itu bukanlah berdasarkan kecurigaan atas hubungannya dengan luar negeri dan sebagainya,” (hlm.31)
[18] Ideologi dan aktivitgas hassan, lihat Masuda Ato,” Indonesia no Nihonkan” [pandangan orang Indonesia terhadap Jepang], Shakaikagaku Tokyu, Vol.20, No.2-3 (maret 1975).
[19] Ali Sastoamidjojo, salah seorng pemimpin Gerindo di Jawa sambil menekankan bahwa partainya masih berada dalam suatu garis dengan Partindo (Partai Indonesia, dahulu partai Nasional Indonesia) yang telah bubar pada bulan November setahun yang lalu, menerangkan alasan mengapa partainya membuang garis kebijaksan non-kooperatif Partindo dan mengambil garis kebijakan kooperatif karena (1) perubahan situasi; (2) radikalisme sebagai kesadaran politik sudah cukup meresap dan (3) guna menjaga keseimbangan dengan Parindra. Ali Sastroamidjojo, op.Cit., hlm.117
[20] Pedoman masyarakat, 28 Mei 1941, hlm. 426-427.
[21] Soetan Sjahrir, op.cit., hlm.187.
[22] Toa Kenkyusho, Dai-III Chosa Iinkai Hokokusho – Nanyo kakyo Konichi Kyukoku-undo No Kenkyu [Laporan panitia Penelitian III – penelitian mengenai Gerakan Ati-Jepang dan gerakan penyelamatan Negara oleh Tionghoa perantauan di Hindia-Belanda], Juli 1945. (Reprint, Ryukeishosha, 1978), hlm. 441
[23] Dalam pidato pada rapat umum tersebut Amir Sjarifuddin berkata bahwa kebangsaan seseorang “tidak ditentukan oleh darah, warna kulit ataupun bentuk muka, tetai ditentukan dengan membagi suatu tujuan, nasib dan cita-cita secara brsama-sama,” sehingga memberikan dampak besar terhadap masyarakat Tionghoa perantauan. Leo Suryadinata, op.cit., hlm.132.
[24] Pemandangan, 6 November 1937
[25] Ibid., 21 Desember 1937. Kondisi umum Asosiasi Indonesia saat itu, lihat J.M. Pluvier, op. Cit., hlm. 120-121
[26] Ibid., 5 Februari 1942. Tulisan Hatta berjudul “Rakyat Indonesia dan perang pasifik” yang dituliskan segera setelah terjadi serangan Pearl harbor pun dengan nada sedih dan terdesak menekankan bahwa harus segera menghancurkan fasisme Jepang untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Hatta, Kumpulan Karangan (Jakarta: penerbitan Buku Indonesia, 1953), hlm. 144-145 (lihat Bab 2 buku ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar