DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........……………………………………………..1
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. 2
DAFTAR ISI .....…………………………………………….….3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......……………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah ......…….………………………………………….5
1.3 Tujuan ......………………………………………………..5
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Konflik agama yang menyangkut masalah kenegaraan ………..................6
2.2 Pengetahuan budaya dalam mempertahankan NKRI…………………...15
2.3 HAM dalam UUD 1945 dan pelaksanaanya……………………………….23
2.4 Konflik hukum dalam NKRI.........................................................................32
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan …..……………………………………………..41
3.2 Saran ………………………………………………....41
DAFTAR PUSTAKA ….………………………………………….......42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara." dan " Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang." Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1 Tap MPR No.VI th 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI. Diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988.
4. Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI.
5. Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI.
6. Amandemen UUD '45 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3.
7. Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.
Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara :
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengrusakan lingkungan.
1.2. Rumusan masalah
* Bagaimana Konflik agama dan adanya kekerasan atas nama agama ?
* Bagaimana pengetahuan budaya dalam mempertahankan NKRI ?
* Bagaimana Pelaksanaannya HAM dalam UUD 1945 ?
* Bagaimana Konflik hukum dalam NKRI ?
1.3. Tujuan
Prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama, Budaya, HAM, Hukum, Ekonomi, Politik Dan Lainnya. Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam koridor hukum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konflik Agama yang menyangkut masalah kenegaraan
Gerakan-gerakan politik yang mendasarkan pada suatu ideologi keagamaan lazimnya sebagai suatu reaksi atas ketidak adilan, penindasan, serta pemaksaan terhadap suatu bangsa, etnis ataupun kelompok yang mendasarkan pada suatu agama. Pola politik global banyak menimbulkan ketidakseimbangan bahkan terjadinya suatu praktek konspirasi kekuatan transnasional melalui suatu organisasi perserikatan bangsa bangsa. Keseimbangan dunia atas kelompok Barat yang diwakili oleh nato dan kelompok timur yang di wakili oleh kalangan negara sosialis kemunis terutama dulu Uni Sovyet sekarang sekarang berubah petanya yaitu didominasi kelompok Nato yang dipimpin oleh Amerika, pasca runtuhnya Komunisme di Uni Sovyet. Keadaan yang demikian ini menimbulkan praktek-praktek penindasan internasional terutama terhadap negara-negara atau bangsa lainnya. Lobi-lobi serta negosiasi politik tingkat internasional lazimnya sudah tidak mampu lagi membawa solusi yang demokratis, karena adanya negara-negara yang memiliki hak veto di PBB (Mahendra, 1999).
Maraknya aksi kekerasan atas nama agama di akhir-akhir ini membawa pengaruh bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Kekerasan atas nama agama tidak hanya membuat bangunan kerukunan umat beragama retak, lebih jauh juga dapat mengancam nilai-nilai demokrasi. Konstitusi negara yang menjamin kebebasan dan berkeyakinan, serta prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang merantai kemajemukan dan pluralisme Indonesia, tidak lagi menjadi tembok yang kukuh.
Aksi kekerasan tersebut merupakan persoalan yang fundamental bagi kehidupan bangsa. Dengan beragam latar belakang elemen pembentuk bangsa, seharusnya Pancasila dan hukum positif dijadikan pengayom perbedaan. Nilai-nilai luhur, seperti solidaritas sosial dan toleransi antar sesama yang terkandung di dalamnya, luntur. Sebagai gantinya, benih-benih fundamentalisme dan radikalisme agama kian tumbuh. Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha adalah sebagian besar agama yang dianut oleh masyarakat di Indonesia. Indonesia adalah negara penganut Islam terbesar di dunia. Akhir-akhir ini kita seringkali mendengar adanya suatu konflik Agama di tanah air tercinta kita ini, ini sudah menggambarkan bahwa Bhineka Tunggal Ika telah tak di hargai / telah mati. Setiap warga harus mentaati aturan yang berlaku, baik dari segi pandang Agama maupun dari segi pandang UUD.
Konflik antar pemeluk agama, khususnya antar pemeluk agama Islam – Kristen dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seyogiyanya tidak berlarut-larut terjadi hingga dewasa ini bila aparatur negara dan masyarakat sungguh-sungguh setia dan taat sepenuhnya pada Pancasila dan UUD 1945. Sebab Pancasila dan UUD 1945 memang dimaksudkan para pendiri bangsa (the founding fathers) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari aneka ancaman dan gangguan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Para pendiri bangsa kita yang telah melahirkan dan membentuk negara ini dengan pemikiran arif dan bijaksana, dan dengan pandangan yang jauh ke depan telah meletakkan dasar-dasar yang kuat dan teguh di atas nama negara ini dapat tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berbhinneka tunggal ika.
Adapun prinsip dasar yang diletakkan adalah negara kesatuan yang bersifat integralistik dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan yang ditetapkan dalam rumusan UUD 1945 dan Pancasila. Itu berarti hakekat kebangsaan kita adalah memberikan ruang dan kesempatan kewilayaan/ kedaerahan, golongan, keagamaan yang semakin dewasa dan mandiri dan tidak bisa tidak harus bertolak dari fakta bahwa memang wilayah negara ini sangat luas, yang di dalamnya hidup masyarakat yang terdiri berbagai suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Berangkat dari prinsip dasar NKRI tersebut, the founding fathers menetapkan tujuan-tujuan yang harus dijalankan oleh negara, dalam hal ini pemerintah. Salah satu tujuan tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia yang beraneka ragam termasuk melindungi dari ancaman dan gangguan terhadap para pemeluk agama.Tujuan tersebut merupakan hasil konsensus nasional dan pemikiran inklusif dan cerdas para pendiri bangsa. Segenap bangsa Indonesia harus dilindungi. Artinya negara menaungi (agar tidak kepanasan), mengalangi (agar tidak dikenai tembakan dan pengrusakan) dan menjaga (agar selamat). Tentu semua itu dalam korridor hukum.
Pelaksana utama dan terutama dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia tersebut adalah aparat negara yaitu pelaksana tugas pemerintahan. Aparatur negara adalah perangkat pemerintahan meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Semua lembaga tersebut saling terkait dan bekerja bersama-sama sesuai dengan bidangnya dalam menggapai tujuan NKRI yaitu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia termasuk melindungi pemeluk agama-agama yang ada di dalamnya.
Konflik Agama Islam-Kristen Konflik antar pemeluk agama khususnya Islam – Kristen terjadi tidak hanya di Indonesia. Namun dalam konteks NKRI, negara dalam hal ini pemerintah merupakan tameng perlindungan bagi segenap bangsa terutama warga pemeluk agama yang tertindas dan teraniaya. Kenyataan menunjukkan, negara yang diwakili oleh pemerintah NKRI, relatif belum berhasil melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.
Hal ini terlihat dari perjalanan bangsa dimana konflik antara agama Islam – Kristen menimbulkan korban ketidakadilan. Pada masa Orde Lama, konflik Islam – Kristen ditandai dengan pemberontakan DI/ TII/ NII, perdebatan konstituante, dan masalah penyiaran agama. Ada keinginan sebagian pemeluk agama untuk membentuk nusantara menjadi negara agama.
Pada masa Orde Baru, konflik agama diindikasikan dengan kebijakan pemerintah yang memutuskan SKB No 1/ 1969 tentang pembangunan rumah ibadah, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan pengrusakan gereja. Konflik tersebut menimbulkan korban baik secara fisik maupun batiniah bagi pemeluk agama yang tertindas ( dikutip :Galih Herniawan )
Di era “reformasi” konflik agama Islam – Kristen ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa gereja, isu Piagam Jakarta dan amandemen UUD 1945, UU Pendidikan Nasional 2003, Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, liberalisme dan sekularisme dan terakhir penutupan paksa sejumlah bangunan gereja dan perumahan yang digunakan sebagai tempat ibadah. Konflik Islam – Kristen tetap terjadi secara terselubung dan bahkan secara terang-terangan dengan berbagai jalur yang memungkinkan. Barangkali konflik agama antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak akan pernah berakhir (?), namun tugas negara tetap melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia terlepas dari apapun agama atau kepercayaannya.
Sepanjang sejarah, penanganan konflik antar pemeluk agama Islam – Kristen berada di tangan negara. Seturut era “reformasi”, kewenangan pembangunan bangsa di bidang agama tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan pemerintah provinsi sebagai daerah otonom. Pemerintah Pusat disebutkan mempunyai kewenangan di bidang agama dan kewenangan itu tidak diserahkan ke pemerintah daerah. Tentu kebijakan ini bertujuan untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Juga jelas sekali kalau kita mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, aparatur pemerintah pusat lewat kantor wilayah dan bawahannya seyogiyanya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penganiayaan dan penindasan. Sebab perlindungan tersebut adalah panggilan pemerintah sebagai aparat negara NKRI.
Sumpah Setia Kita semua tahu, bahwa semua warga masyarakat NKRI harus setia dan taat dan teristimewa aparat negara (pegawai negeri sipil, TNI dan Polisi RI) harus mengangkat sumpah setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan UUD 1945. Juga mereka bersumpah bahwa mereka mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan diri sendiri (PP No 32 Tahun 1980). NKRI sudah 60 tahun merdeka. Enam puluh tahun pula kita semua membacakan dan mendengarkan Pancasila dan UUD 1945 ketika Upacara Bendera pada hari-hari besar negara. Yang lebih istimewa adalah aparat negara selalu diangkat sumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya banyak aparatur negara masih berada pada tataran bersumpah setia “tentang” Pancasila dan UUD 1945 di mulut, namun belum “benar-benar” bersumpah setia dalam pelaksanaan tugas.
Ketidaksetiaan pada Pancasila dan UUD 1945dalam hidup bernegara, berbangsa dan bernegara terlihat dari adanya pemeluk agama yang tertindas, dan rumah ibadahnya dirusak dan dibakar, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme, ketidakadilan pemerataan pendapatan negara dan penegakan hukum yang relatif belum berjalan. Jika kita tetap demikian maka tantangan terbesar adalah kelangsungan dan keutuhan negeri ini sebagai NKRI.
Ancaman disintegrasi , dan terpecah-belah oleh konflik karena latar belakang perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan akan selalu mengerogoti kita.
Namun bila kita masih menghendaki kelangsungan dan keutuhan NKRI maka tidak bisa tidak pemerintah harus melindungi segenap bangsa dan taumpah darah Indonesia dari ancaman kekerasan, penganiayaan, pengrusakan, pembakaran, pemanipulasian, pembodohan dan ancaman-ancaman lainnya. Untuk itu pewujudnyataan sumpah setia pada Pancasila dan UUD 1945 masih harus tetap diusahakan bersama. Semoga Konflik Agama Tingginya kepercayaan antar umat beragama adalah syarat mutlak bagi hadirnya pengelolaan konflik agama yang cerdas yang memungkinkan agama-agama itu hidup rukun dan damai, karena penyelesaian konflik membutuhkan komunikasi, dan komunikasi dapat terjadi karena adanya rasa saling percaya. Konflik sesungguhnya merupakan sesuatu yang alami, konflik adalah sesuatu yang inheren, demikian juga dengan konflik agama. Konflik agama telah ada ketika agama-agama itu ada. Selama manusia tak mampu membebaskan diri dari stereotype negatif tentang agama lain, konflik agama akan terus ada. Meski demikian, konflik itu sendiri sesungguhnya memiliki peluang dan ancaman di dalam dirinya. Karena itu, pengelolaan konflik secara cerdas dalam hal ini sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik membawa pada suatu kehidupan bersama yang lebih baik (peluang), bukannya malah mengorbankannya untuk kemudian meledak dalam bentuk kekerasan (ancaman). Jadi, hal yang utama bukanlah bagaimana meniadakan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik tersebut secara benar melalui penggunaan saluran-saluran yang benar, agar tidak berujung pada kekerasan.
Kehidupan beragama di Indonesia pada awalnya berjalan dengan mulus.
Sejak kemerdekaan NKRI tahun 1945-1964 tidak ada insiden berarti dalam hubungan antar umat beragama. Insiden pengrusakan rumah ibadah (gereja) baru terjadi pada masa orde baru. Dan pada tahun 1985-1997 terjadi 237 kasus penutupan, pengrusakan dan pembakaran gereja, sekitar 63%.
Pada era orde lama maupun orde baru, konflik lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sekelompok masyarakat terhadap pemerintah, berupa usaha-usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan RI. Namun, pada masa reformasi panggung konflik di Indonesia beralih ke etnis dan agama yang berujung pada kekerasan sesungguhnya bukanlah warisan sejarah Indonesia. Mengamati konflik agama yang terjadi yang berujung pada kekerasan di Indonesia, di sana terlihat bahwa tampaknya pemerintah sering kali mengambil posisi strategis, pemerintah dalam hal ini bisa dituduh melakukan kejahatan dengan membiarkan kekerasan berdasarkan agama (crime by omission). Pembiaran pemerintahlah yang menyebabkan konflik menyebar secara cepat. Malangnya, penyelesaian konflik di negeri ini tak pernah tuntas. Akibatnya, negeri yang dahulu terkenal dengan kerukunannya itu kini menjadi negeri yang rentan dengan konflik kekerasan yang amat memprihatinkan.
“Kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama). Konflik agama di Indonesia makin sulit dihindari karena terjadinya pengelompokkan berdasarkan agama. Pengelompokkan (clustering ) berdasarkan agama ini menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut menyebabkan hubungan di masyarakat lebih rentan konflik, dan jika konflik pecah, sulit diselesaikan. Itulah sebabnya pada peringatan hari jadi Singapura, Minggu (2/8), dalam pidato bertajuk tantangan masa depan Singapura, Menteri Senior Goh Chok Tong mengingatkan agar Singapura mewaspadai potensi bahaya yang meningkat dengan semakin religiusnya warga Singapura. Menurutnya, semakin religious seseorang akan membuat orang membentuk kelompok hanya dengan pemilik kepercayaan yang sama, yang kemudian bermuara pada pembagian kelompok - kelompok berdasarkan agama. Ini akan menyebabkan timbulnya kesalahpahaman akibat kurangnya pemahaman akan kepercayaan yang beragam tersebut, kesalahpahaman tersebut bisa menimbulkan konflik agama”. (dikutip : Robert W. Hefner)
Seorang aktivis yang gencar melakukan aksi penegakkan Syariat Islam di Indonesia,juga selalu terlibat dalam membangun gerakan ‘Revolusi Islam’. Beberapa waktu lalu dikirimi sebuah ‘ramuan’ bagaimana membuat bom berdaya ledak besar dari aktivis lainnya yang berhubungan dengan Somalia bukan Afghanistan.
Aktivis lain bisa dengan mudah mengakses hal tersebut di media internet. Ramuan – ramuan lainnya dari yang mudah sampai yang sulit pun bisa didapat,tinggal mencari bahan-bahannya maka untuk melakukan gerakan teroris di Negara manapun ke depan sangat gampang, sebuah penumpang gelap dari revolusi industri komunikasi.
Di sebuah daerah yang jauh dari ibu kota ditemukan suatu pendidikan seperti ma’had yang melakukan doktrin kebencian terhadap Negara, ‘Thagut’. doktrin - doktrin itu disantap lalu muncullah tindakan-tindakan ‘nekad’ yang memakan korban aparatur Negara, seperti di Nusa Tenggara Barat. di suatu tempat lainnya pengkaderan itu dimulai dari anak - anak yang masih ingusan dan masih senang bermain layang - layang, anak - anak itu dididik dengan cara ‘cuci otak’ dan pembangkangan, tentu saja ajaran - ajaran keberanian tanpa ukur. Akhirnya anak - anak itu menjadi preman - preman yang justru disegani oleh pemuda - pemuda yang umurnya jauh di atas mereka, anak - anak itu berani bertarung dan keroyokan layaknya geng, bedanya mereka dibungkus akidah. Anak -anak itu adalah kader yang dipersiapkan.
Di kelompok tertentu, kematian tiga terpidana Teroris yang dihukum mati di Nusa Kambangan tetap belum tuntas. Darah dibayar darah masih terpatri, mereka tetap merasa punya utang terhadap ketiga terpidana mati tersebut kalau belum terbalas. Utang semakin menumpuk takala banyak pentolan - petolan mereka yang tertangkap, tewas, atau hilang, termasuk tewasnya Osama Bin Laden, Azhari, Dulmatin, dll. Ketiga fakta tersebut cukup menjelaskan bahwa Terorisme tidak akan pernah mati, hanya rehat dan tiarap karena pada saatnya biji-biji yang ditabur itu pasti tumbuh,dipetik atau tidak.
Ujungnya pemberantasan terorisme dianggap sebagai isu basi, isu yang yang tidak layak jual di dalam situasi yang gaduh oleh prilaku elite politik saat ini, isu yang selalui dianggap pengalihan dari berbagai isu-isu strategis yang berhubungan dengan kekuasaan, korupsi, dsb. Berita yang sudah dianggap biasa oleh pasar, kalau catatan isu ini dianggap sebagai opini yang benar, maka Terorisme mengalami kemenangan, terorisme berhasil mengalihkan opini gerakanya berlindung di balik dinamika politik yang menghanyutkan, teroris bisa leluasa bergerak, menyusup, melakukan kaderisasi, menjalankan target lanjutan dalam mewujudkan mimpinya, sebuah gerakan kontra yang sangat efektif dengan landasan psikologi masyarakat yang mudah lupa dan cepat bosan terhadap suatu berita.
Dunia berubah, berbagai kekuataan yang dulu di bawah tanah bangkit melakukan berbagai perubahan di negara-negara Islam, Libya, Mesir, Afghanistan, Pakistan, Tunisia, Palestina, dll. Mereka melakukan ‘kawin siri’ dengan negara - negara besar yang mendesain tata dunia baru. Begitu pun di kawasan ASEAN bagaimana pola Teror menjadi gerakan perjuangan kelompok separatisme tengok saja di Thailand Selatan, Filipina Selatan, Malaysia, termasuk Indonesia. Sejarah mencatat bagaimana Teroris menjadikan Indonesia sebagai medan tempurnya, bangsa ini belum sembuh luka hatinya bagaimana mereka merusak tatanan NKRI tanpa basa basi.
“Indonesia dengan berbagai kegaduhannya tentu saja lahan subur untuk bersemainya ajaran - ajarannya tersebut, minimal kaderisasinya. Arianto Sangaji (Penulis Buku ”Penanganan Terorisme”, Sedang Studi di Toronto, Kanada). Tulisan dimuat Kolom Opini Koran Kompas, Kamis, 11 Maret 2010, hlm. 6, mengungkapkan bahwa setelah Noordin M. Top tewas di tangan Densus 88, publik menganggap ancaman terorisme di Indonesia sudah berakhir. Keterangan resmi pemerintah yang menunjuk hubungan antara Aceh dan penyergapan mematikan terhadap Dulmatin di Pamulang” (Kompas.com, 10/03/2010)
Terorisme tetap merupakan ancaman serius bagi NKRI, letaknya yang strategis dengan SDA yang menggiurkan, lahannya yang subur, mayorits warganya yang muslim merupakan potensi tersendiri bagi mereka. Di sisi lain, lahan semakin terbuka ketika dinamika politik menuju situasi tidak sehat, kegaduhan, intrik politik, isu Negara gagal, wacana Negara bangkrut, Revolusi Islam, rebutan kekuasaan, lemahnya penegakan hukum, koruptor, tidak terkendalinya keadaan adalah modal besar teroris masuk karena semua perangkat lalai dan sibuk oleh keadaan. Perang melawan teror bukan sekadar perang menghadapi kelompok-kelompok kecil yang frustasi dan kecewa oleh keadaan atau orang - orang pinggiran yang gila dengan keadaan dunia sehingga mimpi merubah dengan caranya. Perang melawan teroris bukan sekadar perang melawan warga bangsa tersisih yang terasingkan tapi orang - orang di pusaran dunia yang saling berhubungan, perang melawan terorisme bukan pengalihan isu dari kemelut politik bangsa, tapi perang melawan sebuah konspirasi yang mengharapkan NKRI hanyut dalam kemelut sehingga tidak bisa maju, bangkit mewujudkan harapannya, perang melawan terorisme merupakan perang eksistensi NKRI dalam Tatanan Dunia Baru yang sedang berevolusi (dikutip : Tri Melky Melson)
2.2. Pengetahuan Budaya dalam Mempertahankan NKRI
Berbicara tentang antropologi dalam berbagai keragaman perspektif tidak terlepas dari kajian antropologi sosial yang menjemabatani lahirnya pemikiran antropologi terapan yang berada pada level praktis sebut saja antropologi pendidikan, kesehatan dan pertahanan. Antopologi pertahanan kaitannya dengan fenomena perbatasan, harus memedomani dua pendekatan dasar yang ada dalam dimensi antropologi yang dikenal yang dikenal sebagai emic view dan etic view. Dua sisi pendekatan ini merupakan pandangan yang lazim digunakan dalam membedah isu-isu yang berhubungan dengan antropologi.
Pendekatan ini merupakan kunci kekuatan daripada antropologi pertahanan yang mana emic view dan etic view dipopulerkan oleh antropolog Ward Goodenough (1970) dan, Istilah ini dipopulerkan Ward Goodenough dalam bukunya “Describing a Culture”, Description and Comparison in Cultural Anthropology yang diterbitkan Cambridge University. Sedangkan Marvin Harris dalam bukunya History and Significance of the Emic/Etic Distinction“.
Emic view merupakan pandangan yang mengedepankan intrinsic values (nilai-nilai dasar) dan local wisdom (kearifan lokal). Sementara untuk etic view, lebih mengedepankan nilai-nilai universal dan pengaruh dari luar. Jadi jika disederhanakan, emic view lebih berorientasi dari dalam sementara etic view lebih berorientasi dari luar. Perlu dipahami bahwa dalam hal ini, tidak ada yang lebih menjadi prioritas, sehingga kedua pendekatan tersebut perlu diselaraskan (Marvin Harris, 1976)
Contoh sederhana yang dapat digunakan untuk memahami kedua pendekatan tersebut adalah penggunaan koteka di wilayah Papua oleh masyarakat lokal. Kita tahu bahwa masyarakat asli Papua tidak mengenal budaya untuk mengenakan baju sebagaimana layaknya yang digunakan di daerah lain yang sudah lebih berkembang. Terdapat konsiderasi mendasar dari budaya Papua tersebut. Salah satu alasannya mereka secara periodik membalurkan lumpur yang memiliki khasiat untuk menjaga stamina maupun imunitas tubuh mereka. Seperti yang kita ketahui bahwa di wilayah Papua memang sangat rentan dengan penyakit Malaria yang bahkan sering memakan korban jiwa jika tidak tertolong dengan cepat. Dengan baluran lumpur tersebut, ternyata mampu menjadikan masyarakat asli Papua lebih resisten terhadap penyakit Malaria.
Namun demikian, Pemerintah pusat sempat menjalankan kebijakan untuk merubah budaya tersebut dengan memaksakan pemakaian baju seperti yang dikenakan oleh masyarakat di wilayah-wilayah lain di tanah air. Yang terjadi setelah diterapkannya kebijakan tersebut justru menimbulkan penyakit gatal-gatal di kalangan masyarakat Papua sehingga menjadikan mereka sangat tidak nyaman. Bahkan kondisi itu semakin diperburuk karena dengan adanya penyakit gatal-gatal tersebut, justru menurunkan imunitas tubuhnya sehingga resistensi mereka terhadap penyakit Malaria pun menurun secara signifikan. Akibatnya, penduduk asli yang tadinya sangat jarang terserang penyakit Malaria malah menderita penyakit tersebut. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat asli Papua yang kemudian beralih kembali ke budaya asli mereka dalam mengenakan Koteka dan tidak mengenakan penutup dada.
Oleh karenanya, dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan, kedua pendekatan emic view dan etic view, menjadi acuan yang harus dipedomani oleh Pemerintah Pusat dan Daerah maupun para stakeholder terkait. Dalam menuntaskan problem penanganan perbatasan, sangat diperlukan “strategi adaptasi” yang mengawinkan kedua pendekatan tersebut., “strategi adaptasi” ini harus mampu mengkombinasikan nilai-nilai budaya maupun nilai-nilai tradisional yang berlaku di masyarakat lokal wilayah perbatasan, dengan nilai-nilai modern yang menjadi tuntutan dalam proses modernisasi masyarakat, sebagai salah satu fitur dalam era globalisasi. “Strategi adaptasi” ini nantinya diharapkan akan membantu mewujudkan competitiveness (keunggulan) dari daerah dan masyarakat lokal tersebut sehingga pembangunan secara komprehensif dapat direalisasikan, termasuk dalam pembangunan wilayah Sebatik sendiri (Ward Goodenough, 1970)
Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi telah mendorong perubahan dalam aspek kehidupan manusia, baik pada tingkat individu, tingkat kelompok, maupun tingkat nasional. Menurut dan Martin Holborn, Globalisasi adalah suatu proses dimana batas-batas negara luluh dan tidak penting lagi dalam kehidupan sosial.
Untuk menghadapi era globalisasi agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan ditangkap secara tepat, kita memerlukan perencanaan yang matang diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Kesiapan SDM, terutama kesiapan dengan pengetahuan yang dimiliki dan kemampuannya.
2. Kesiapan sosial budaya untuk terciptanya suasana yang kompetitif dalam berbagai sektor kehidupan.
3. Kesiapan keamanan, baik stabilitas politik dalam negeri maupun luar negeri / regional.
4. Kesiapan perekonomian rakyat.
Di bidang Pertahanan Negara, kemajuan tersebut sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Oleh karena itu kebijakan strategis penggunaan kekuatan pertahanan diarahkan untuk menghadapi ancaman atau gangguan terhadap keamanah nasional. Kekuatan pertahanan tidak hanya digunakan untuk menghadapi ancaman tetapi juga untuk membantu pemerintah dalam upaya pembangunan nasional dan tugas-tugas internasional. Dari hasil perkiraan ancaman, Indonesia mempunyai kepentingan strategis untuk mencegah dan mengatasi ancaman keamanan tradisional dan nontradisional ( Michael Haralambos, 1992)
Ancaman keamanan tradisional yaitu ancaman yang berbentuk kekuatan militer negara lain yang membahayakan kemerdekaan, kedaulatan dan kebutuhan wilayah NKRI. Dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan dan kebutuhan wilayah, kebijakan pertahanan Indonesia tetap mengacu pada prinsip sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan, yaitu mengutamakan tindakan pencegahan dengan mengoptimalkan upaya diplomatik dalam kerangka Confidence Building Measure (CBM) dan Preventive Diplomacy. Penggunaan kekuatan militer untuk tujuan perang merupakan tindakan terpaksa yang harus dilakukan sebagai jalan terakhir apabila cara-cara damai tidak membuahkan hasil.
Ancaman Keamanan Non-Tradisional yaitu ancaman yang terjadi akibat dinamika politik di sejumlah negara serta kesenjangan ekonomi dunia yang makin lebar telah menyebabkan kondisi timpang yang lambat laun berkembang dan menjalar melampaui batas-batas negara. Ancaman keamanan non tradisional yang timbul di dalam negeri dengan motivasi separatisme, akan dihadapi dengan mengedepankan cara-cara dialogis.
Penyelesaian masalah melalui cara cinta damai, diplomatik atau cara-cara dialogis harus menggunakan pendekatan budaya. Pendekatan budaya dalam pembangunan dan pembinaan kekuatan pertahanan adalah sebagai fenomena yang mengelilingi kita setiap saat, yang secara terus menerus terjadi dan tercipta oleh adanya interaksi dengan orang lain. Ciri utama dari “Budaya” adalah sesuatu yang merupakan hasil bersama (shared), atau kesepakatan kelompok (held in common). Beberapa produk hasil bersama antara lain adalah : bahasa, tradisi, kebiasaan, norma-norma kelompok, nilai-nilai pendukung, seperti “kualitas produk”, filosofi kelompok, aturan main, iklim kerja, kemampuan terpendam, cara berpikir, pengertian yang sama serta simbol-simbol yang mempersatukan mereka. Tanggap akan pengaruh budaya dengan memahami keragaman dan perbedaan budaya akan mengurangi dampak negatif globalisasi (kegoncangan budaya dan ketimpangan/ketertinggalan budaya).
Kegoncangan budaya (Culture shock) yaitu goncangan jiwa atau mental seseorang atau masyarakat sebagai akibat belum adanya kesiapan menerima kebudayaan asing yang datang secara tiba-tiba. Pada tahap awal, orang atau masyarakat akan merasa mendapatkan pengalaman baru yang menarik. Tetapi pada saat ia harus terlibat di dalamnya, ia merasa tertekan, frustasi dan tidak berdaya. Bila Keadaan ini terus berlanjut dan dibiarkan, akan mengganggu keseimbangan jiwanya dan berdampak negatif, seperti bunuh diri atau gila. Sedangkan ketimpangan budaya (Culture lag) adalah ketimpangan salah satu unsur kebudayaan untuk menyesuaikan diri dengan unsur kebudayaan lain yang sudah berubah karena adanya kelambanan untuk menyesuaikan diri.
Permasalahannya adalah bagaimana kita mengatasi hal tersebut di atas terutama dalam melaksanakan tugas operasi militer selain perang baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini membuat Dephan bertanggungjawab mengelola sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan dan memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan melalui Badiklat Dephan yang mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang pertahanan.
Pendidikan dan pelatihan menduduki posisi sentral pada era globalisasi. Tanpa pendidikan dan pelatihan maka pelaksanaan kehidupan di era globalisasi tidak terlaksana dengan baik, di kehidupan sosial politik maupun dalam kehidupan ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan seyogianya berorientasi pada peningkatan kualitas meskipun segi kuantitas tidak diabaikan.
Pendidikan dan pelatihan merupakan upaya formal pengembangan SDM. Oleh karena itu, sebagai unsur pengembangan SDM, Badiklat harus berusaha mengerti dan dapat mengantisipasi kebutuhan nyata Dephan/TNI di bidang pertahanan serta harus selalu mengikuti perkembangan strategis yang berlaku. Dengan demikian Badiklat akan senantiasa dapat mempersiapkan program-program diklat yang dibutuhkan tepat pada waktunya. Pemilihan jenis diklat disesuaikan dengan kebutuhan Dephan/TNI di lapangan. Saat ini, pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Badiklat Dephan sebanyak 30 jenis diklat terdiri dari : diklat teknis fungsional pertahanan, diklat bahasa dan diklat manajemen pertahanan.
Terdapat 11 (sebelas) Diklat, baik secara tersirat maupun tersurat, yang memuat aspek budaya dalam mata pelajaran, seperti diklat yang diselenggarakan di Pusdiklat Bahasa yaitu bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing. Sayangnya diklat bahasa daerah baru terlaksana KIB Aceh. Dan diklat bahasa Indonesia dilaksanakan bagi siswa mancanegara. Serta diklat bahasa asing terdapat 8 bahasa (Arab, Belanda, Inggris, Mandarin, Jepang, Jerman, Prancis dan Rusia). Program pada diklat bahasa sebaiknya bukan hanya mengajar sebagai alat komunikasi namun juga ditekankan pada pengetahuan budaya masyarakat pengguna bahasa tersebut. Misalnya, diklat bahasa Aceh, selain belajar bahasa Aceh, siswa diberikan juga pengetahuan budaya Aceh (akan lebih baik lagi bila yang memberikannya orang Aceh sendiri). Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat memahami bagaimana orang/masyarakat pengguna bahasa itu secara utuh sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman budaya atau bahkan ketimpangan/kegoncangan budaya. Dengan bekal budaya maka pendekatan persuasif akan tercapai sehingga untuk mempertahankan kedaulatan NKRI tidak sampai menggunakan cara kekerasan. Pendekatan personal budaya ternyata lebih efektif dan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Budaya bercirikan nilai yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik dan dirasakan bersama secara luas dalam kelompok atau masyarakat. Pengetahuan budaya melalui diklat bahasa daerah sangat dibutuhkan terutama untuk mengatasi permasalahan atau konflik yang ada di daerah karena budaya terwujud dan tersalurkan dari sikap dan perilaku manusia, misalnya : Masalah-masalah integrasi kebudayaan di Papua. Secara politik Papua sudah terintegrasi ke dalam NKRI dan lebih disempurnakan dengan adanya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1968-1969. akan tetapi, secara budaya belum selesai. Keadaan ini berawal dari sikap prasangka stereotype dari kedua belah pihak. Berbagai suku bangsa di Papua masih curiga terhadap orang Indonesia lainnya. Sebaliknya, orang Indonesia lainnya masih menganggap orang Papua masih terbelakang. Orang Papua, pada dasarnya curiga terhadap orang asing karena mereka baru satu atau dua generasi bebas dari isolasi budaya, bahkan ada yang hidup terisolasi sampai sekarang. Sebagai contoh kasus bakti sosial di suku bangsa Dani, di wilayah lembah Baliem, Papua. Masyarakat Dani diberi pakaian untuk mengganti pakaian tradisional mereka. Mereka mau memakainya bahkan sampai berhari-hari sehingga mereka menderita sakit gatal-gatal dan mereka tidak mau menggunakannya lagi.
Kemudian pemerintah melakukan pendekatan budaya dengan mengirim Koentjaraningrat, seorang antropolog dari UI, dengan beberapa model yang akan memperagakan penggunaan dan perawatan pakaian di tempat strategis (banyak masyarakat Papua yang melewati tempat tersebut) agar orang Papua memperhatikan mereka. Dan akhirnya masyarakat papua mengerti dan memahami cara berpakaian.
Begitu juga dengan konflik yang terjadi di Kalimantan antara suku Dayak dan suku Madura. Konflik yang terus menerus terjadi pada suku bangsa tersebut karena adanya perbedaan persepsi tentang alam/lingkungan. Contoh konflik seperti ini akan lebih efektif penyelesaiannya dengan pendekatan budaya bukan dengan cara kekerasan. Penyelesaian konflik dengan kekerasan tidak membuahkan hasil yang optimal, tetapi melalui pendekatan budaya, masalah tersebut dapat didamaikan. Pengetahuan budaya sangat dibutuhkan bagi pihak ketiga dalam menyelesaikan masalah antar suku. Hal terakhir yang tidak kalah penting yaitu pengetahuan sejarah/asal usul masyarakat/suku bangsa pengguna bahasa tersebut untuk meminimalkan kesalahpahaman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pusdiklat Bahasa memiliki peran dalam meningkatkan profesionalisme SDM dalam kerjasama nasional, regional dan internasional khususnya di bidang bahasa dan budaya. Untuk mendukung hal tersebut, Pusdiklat Bahasa harus mempunyai personel yang profesional, berkualitas, mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan tersedianya personel tersebut, Pusdiklat Bahasa akan mudah untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menyelenggarakan diklat atau mengembangkan SDM. Untuk menjamin ketersediaan personel tersebut, Pusdiklat Bahasa harus selalu membina personelnya untuk terus berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya. Kegiatan tersebut berupa seminar, lokakarya, penataran, kursus singkat atau Ceramah tentang berbagai pengetahuan yang baru atau sedang berkembang di masyarakat khususnya budaya sehingga pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh akan selalu diperbaharui. Pengenalan budaya dapat juga melalui bahan bacaan, video, dan pengalaman tenaga pendidik.
Dalam proses belajar mengajar, widyaiswara dituntut untuk memiliki kemampuan mengajar :
• Pengetahuan bahasa sebagai alat komunikasi yang utama.
• Pengetahuan budaya mencakup nilai, norma, adat istiadat, kebiasaan.
• Pengetahuan sejarah/asal usul daerah tersebut yang menyangkut legenda maupun kepercayaan.
• Pembekalan bagi TNI dalam melaksanakan OMSP tidak hanya membutuhkan keterampilan dan keahlian tetapi juga membutuhkan ketiga pengetahuan tersebut di atas dimana mereka akan ditempatkan. Dengan demikian mereka diharapkan dapat menyelesaikan tugasnya dengan optimal (Sumber: Reformed Center for Religion Society)
SUBBAB III
HAM
Oleh
Kurniawati Eka Lestari (110110301002)
Abdul Rauf (110110301005)
2.3. HAM dalam UUD 1945 dan pelaksanaannya
HAM Menurut Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Hak asasi manusia pada prinsipnya merupakan hak yang universal, akan tetapi dalam pelaksanaannya di masing-masing negara disesuaikan dengan kondisi politik dan social budaya masing – masing negara. Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat memiliki Ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 yang menjadi batasan sekaligus berisi pengakuan terhadap hak asasi manusia. Seberapa jauh nilai – nilai hak asasi manusia terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dijadikan barometer Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengakuai dan menghargai hak asasi manusia. Hal ini mengingat Piagam PBB yang memuat pengakuan dan perlindungan HAM baru lahir pada tahun 1948 sesudah lahirnya NKRI pada tahun 1945.
Hubungan HAM dan UUD 1945 Meskipun tidak diatur secara khusus ketentuan tentang HAM pada UUD 1945 sebelum Amandemen ke dua, bukan berarti dalam UUD 1945 tidak mengakomodir ketentuan tentang HAM. Jika dilihat dari lahirnya UUD 1945 lebih dulu lahir daripada Deklarasi HAM tahun 1948.
Ketentuan yang berkaitan dengan HAM dapat dilihat sebagai berikut :
1. Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian perlindungan diberikan kepada seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, tidak hanya terbatas atau berdasarkan kepentingan kelompok atau warga Negara.
2. Memajukan kesejahteraan umum, hal ini mengandung pengertian pembangunan kesejahteraan secara merata dan setiap warga Negara punya kesempatan untuk sejahtera.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, guna untuk meningkatkan sumberdaya manusia Indonesia seluruhnya secara merata guna mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.
4. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, membangun bangsa yang mandiri serta kewajiban untuk menyumbangkan pada bangsa – bangsa lain di dunia, tanpa perbedaan.
5. Dalam penjelasan pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum (rechtsstaat bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka/machtsstaat). Kaitannya dengan HAM adalah salah satu cirri Negara hokum adalah mengakui adanya HAM. Selanjutnya dalam penjelasan umum diterangkan bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “pembukaan” dan pasal – pasalnya, dimana mengandung arti bahwa Negara mengatasi segala paham golongan, dan paham perorangan, mewujudkan keadilan social berdasarkan kerakyatan perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini mencerminkan cita – cita hokum bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi HAM serta lebih mengutamakan kepentingan bersama manusia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka hubungan HAM dengan UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam moral bangsa sebagai berikut :
a) Kebijaksanaan harus diarahkan pada kebijaksanaan politik dan hokum, dengan perlakuan serta hak dan kewajiban yang sama bagi siapapun, perorangan atau kelompok yang berada di dalam batas wilayah NKRI.
b) Kebijaksanaan Ekonomi dan Kesejahteraan, dengan kesempatan serta beban tanggungjawab yang sama, bagi siapapun yang ingin berusaha atas dasar persaiangan yang sehat.
c) Kebijaksanaan Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kebebasan serta batasan – batasan yang perlu menjaga ketahanan dan pertahanan mental terhadap anasir dan eksploitasi dari dalam dan luar negeri.
d) Kebijaksanaan luar negeri, meningkatkan kehormatan bangsa yang merdeka yang bias mengatur diri sendiri, serta mampu menyumbang pada hubungan baik antara bangsa – bangsa di dunia.
Selanjutnya dalam UUD 1945 terdapat pasal – pasal yang berkaitan dengan masalah – masalah HAM, pasal – pasal tersebut adalah :
a. Pasal 27, tentang kesamaan kedudukan hokum dan pemerintahan, tanpa ada kecuali serta setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
b. Pasal 28, tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
c. Pasal 29, tentang kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
d. Pasal 30, tentang hak untuk membela bangsa
e. Pasal 31, tentang hak mendapat pengajaran
f. Pasal 33, tentang hak perekonomian atas asas kekeluargaan
g. Pasal 34, tentang fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Dalam perkembangannya sesuai dengan amandemen kedua UUD 1945 berdasarkan siding tahunan tahun 2000, masalah hak asasi manusia secara lugas telah dicantumkan dalam BAB XA, Pasal 28A sampai dengan 28J. Dari uraian tersebut diatas maka UUD 1945 mulai dari pembukaan, penjelasan umum, dan batang tubuh cukup memuat tentang pengakuan hak asasi manusia, atau dengan kata lain secara yuridis konstitusional, Indonesia mengakui HAM jauh sebelum lahirnya Universal Declaration of Human Right.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara, baik disengaja ataupun tidak, atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM yang telah dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Pelanggaran HAM tergolong berat,untuk menyikapi kejahatan dan pelanggaran HAM, berdasarkan hukum internasional dapat digunakan retroaktif, diberlakukan pasal tentang kewajiban untuk tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dalam undang-undang, seperti tercantum dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
• Contoh dan bukti pelanggaran HAM
yakni Tragedi Tanjung Priok Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok. Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa’adah yang ditangkap petugas Kodim Jakarta Utara. Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana. Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ”Agar para wanita memakai pakaian jilbab.’ Dia meminta agar poster itu dicopot. Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus ‘ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.’ Massa rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu. Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan (dikutip: Hendardi)
Beny mengatakan “Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju…serbu…’ dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga. Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina. Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka”
• Pelaksanaan HAM
“Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap
kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan
berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar
HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara
sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya,(Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi
Wartawan Politik (FDWP). Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah”. (dikutip: wisma Surabaya Post Jakarta)
Marzuki berkata “Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi
soal karena dalam proses,”. Padahal jika melihat sisi historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan
dengan masalah HAM. “Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM
sudah menyatu,”
Di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa. Marzuki mengatakan “sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi ataupemersatu bangsa. Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah. “Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,” Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
“Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM,”
• Konstelasi politik
Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu
realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi
politik. Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian
terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah
daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. “Perlu ada pelurusan terhadap gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,” katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah.
“Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis,” kata Marzuki. Kesadaran
akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan
politik. Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah Megawati Soekarnoputri konstitusional.
Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni
penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. “Padahal itu menyentuh HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah,” katanya.
Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar
Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan konsitusi UUD ‘45. “Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan nilai budaya yang berlaku,” katanya. Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik seringkali disebut-sebut “HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang berbeda dengan HAM universal”. “Itu tidak benar. Tidak berarti kita punya prinsip HAM sendiri,” kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut. Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam
masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. “Coba cari HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,” katanya. Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar.
• Komnas HAM Patut Dalami Dugaan Anasir Jahat Ingin Ganggu NKRI
Komisi III DPR RI telah mendapat laporan tentang ditemukannya martil peluru yang bukan milik kepolisian dalam kasus pembubaran paksa pengunjuk rasa yang memblokade Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Komnas HAM yang sedang melakukan investigasi diminta dapat mendalami temuan ini, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang ingin menguji kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) “Ini menarik keterangan Polri, telah ditemukan martil peluru bukan milik polisi. Pihak Polri sudah berikan keterangan lengkap ke Komisi III. Disini kita meminta Komnas HAM mencari tahu martil peluru itu milik siapa. Kalau bukan milik mereka baik Brimob maupun Reserse, berarti ada yang menggunakan secara liar diluar garis komando. Ada anasir-anasir yang ingin menganggu kekuatan NKRI,” tandas Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsudin dalam rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (16/1/12).
Sementara itu anggota Komisi III dari FPKS, Aboe Bakar Alhabsy memaparkan masukan yang diterimanya tentang kehadiran intel atau petugas tidak berseragam yang terlihat menggunakan senjata yang bukan standar Polri. “Saya dapat masukan lebih detil, senjata yang digunakan oleh intel yang tidak berseragam. Ia menembak menggunakan revolver pen 38, kemudian ada yang menggunakan senapan serbu 16A2, senapan serbu AK101 lisensi China. Tembakan peluru mendatar padahal seharusnya kebawah. Menurut saya itu niatnya membantai,” paparnya. Ia juga meminta Komnas HAM mendalami kenapa aparat kepolisian terbaca tidak taat prosedur dalam penanganan pengunjuk rasa. Masyarakat menurutnya tidak dalam posisi akan melawan aparat, gerbang pelabuhan terbuka dan mempersilahkan siapa saja masuk ke area itu. Input yang diterimanya aparat sudah mengokang senjata sejak masuk mendekati warga. Aboe Bakar juga mempertanyakan alasan aparat menyiapkan 15 mobil ambulan sebelum penyerbuan dilakukan.
Sementara itu anggota Komisi III dari FPD, Didi Irawadi Syamsudin meminta Komnas HAM mencermati adanya pihak-pihak tertentu yang menangguk di air keruh pasca kekerasan berdarah yang terjadi di beberapa daerah seperti Mesuji, Aceh, Papua. “Pada saat banyak pihak mencari fakta kejadian mereka malah mengedarkan video kekerasan yang isinya sebagian rekayasa. Saya mendorong Komnas HAM bersinergi dengan aparat penegak hukum mencari tahu siapa dalangnya,” tegasnya.
Dalam penjelasannya Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim memaparkan hasil penyelidikan kekerasan berdarah yang terjadi dibeberapa daerah seperti Mesuji, Bima, Freeport Papua, Pembubaran Kongres Papua, Kasus Aceh dan Sampang Madura. “Ada dugaan pelanggaran HAM namun beberapa masih perlu kami dalami lebih jauh. Kita menuntut pertanggungjawaban sampai pada pimpinan bukan hanya prajurit di bawah,” jelasnya. Terkait ditemukannya martil peluru yang bukan milik aparat kepolisian di Sape, Bima menurutnya Komnas HAM perlu melakukan scientific investigation, melakukan uji forensik dengan melibatkan pihak ketiga. Ia mengaku belum dapat menyimpulkan apakah kekerasan berdarah tersebut merupakan tindakan terpola, sistimatis atau bukan.
Dalam RDP tersebut Komisi III menyepakati beberapa kesimpulan diantaranya mendesak Komnas HAM menyampaikan hasil pengkajian dan penelitian tentang peraturan perundang-undangan dan RUU yang berpotensi dan memicu terjadinya pelanggaran HAM. Para komisioner juga diminta mengkaji secara komprehensif seluruh aspek yang terkait dalam persoalan sengketa lahan/agraria mulai dari aspek yuridis hingga faktor penyelesaian permasalahan di lapangan (Sumber: Reformed Center for Religion Society)
SUBBAB IV
HUKUM
Oleh
Lusi Githa Agustin (110110301007)
Yudha Afriza Cahyono (110110301008)
2.4 Konflik Hukum dalam NKRI
Indonesia adalah negara dengan rakyat yang cinta tanah air. Namun sekarang nasionalisme Indonesia sedang terancam. Apa yang mestinya kita lakukn untuk menyelamatkannya?. Nasionalisme berasal dari kata ‘nation’ (Inggris) yang berarti bangsa.
Ada beberapa tokoh mengemukakan tentang pengertian Nasionalisme. Menurut Ernest Renan: “Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara”. Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan kata lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Dan kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional (sumber: Otto Bauar).
Banyak hal yang menyebabkan rasa nasianalisme masyarakat Indonesia mulai memudar. Secara garis besar penyebab memudarnya nasionalisme di Indonesia ada 2 (dua) macam. Pertama, penyebab internal, salah satunya adalah menguatnya rasa kedaerahan dan semangat primodialisme. Sikap ini sedikit banyak dipengaruhi oleh rasa kekecewaan terhadap pemerintahan yang kurang dijalankan dengan baik. Pemerintah menjanjikan keadilan dan kesejahteraan ternyata hanya janji yang tak kunjung terealisasi. Penegakkan hukum yang seharusnya adil untuk semua golongan tidak dijalankan dengan semestinya. Hukum di Indonesia bagaikan sebuah pisau yang “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Para koruptor yang merampok uang rakyat dengan jumlah yang begitu besar hanya mendapat hukuman ringan berupa “Tahanan Rumah”. Sementara seorang maling yang hanya mengambil seekor ayam harus mendapat bogem mentah dari para warga ditambah harus tinggal di penjara yang dingin, banyak nyamuk dan penjahat lain yang lebih garang dan sangar. Usaha pemerintah dalam pemerataan ekonomi pun kurang berjalan dengan baik. Di sana sini terjadi banyak penggusuran dengan dalih penertiban, sementara lahan pengganti untuk para korban penggusuran tidak disediakan. Hal ini membuat kesenjanagn sosial yang begitu jauh yang menyebabkan adanya rasa ketidak pedulian sosial yang akhirnya menyebabkan pudarnya rasa nasionalisme masyarakat Indonesia. Penyebab lain mungkin karena nasionalisme Indonesia itu sendiri bukanlah nasionalisme yang kuat. Nasionalisme Indonesia yang sekarang adalah nasionalisme hasil “bentukan”. Nasionalisme Indonesia muncul disebabkan karena adanya imperialisme dan kolonialisme belanda. Dengan adanya imperialisme dan kolonialisme maka terbentuklah pemikiran bahwa Indonesia takan pernah merdeka jika tidak mempunyai rasa persatuan dan kestuan atau nasionalisme. Tapi bagaimana bila imperialisme dan kolonialisme sudah tidak ada lagi “.(dikutip: Hans Kohn)
Penyebab kedua adalah penyebab eksternal, salah satunya adalah globlalisasi. Globlalisasi mempunyai dampak baik positif maupun negatif bagi nasionalisme . Karena globlalisasi penyelenggaraan negara menjadi lebih transparan dan jujur. Tetapi globlalisai juga mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan hingga akhirnya mereka mungkin akan beralih ideologi dari pancasila ke liberalisme. Hal ini akan membuat nasionalisme Indonesia semakin menurun bahkan hilang sebab nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang berdasar pancasila. Para pemuda kehilangan kepribadiannya sebagai warga indinesia karena gaya hidup mereka yang kebarat-baratan. Pola konsumsi masyarakat terhadap barang-barang impor yang masuk ke Indonesia membuat hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri. Mereka merasa bahwa produk luar negeri mempunyai kualitas yang lebih bagus daripada produk dalam negeri. Padahal produk kita yang diekspor keluar bahkan menjadi produk unggulan di pasaran internasioanal.
Dampak lain, dengan adanya globlalisasi menyebabkan adanya persaingan bebas dalam globlalisasi ekonomi yang akan menyebabkan kesenjangan sosial yang begitu tajam dan akan mengakibatkan pertentangan antara yang kaya dan yang miskin. Jika ini terjadi maka kehidupan nasional akan terganggu. Globlalisasi juga menyebabkan munculnya sikap individualisme dimana seseorang tidak akan peduli dengan perilaku sesamanya, dengan begitu mereka pun tidak akan peduli dengan nasib bangsa ini.
Melihat hal-hal yang di atas perlu dicari solusi dari masalah-masalah tersebut. Nah berikut adalah jawaban sekaligus upaya untuk menanggulangi masalah menurunnya rasa nasionalisme masyarakat: Menumbukan semangat nasionalisme yang tangguh dan kokoh. Misalnya dengan menumbuhkan rasa cinta terhadap produk dalam negeri. Masyarakat harus diperlihatkan bahwa produk dalam negeri bahkan lebih baik dari produk luar negeri. Rasa persaudaraan juga harus terus dipupuk dan dipelihara, jika di suatu daerah sedang terkena bencana maka daerah lain harus peduli dan membantu korban bencana tersebut. Seperti halnya daerah lain, pemerintah juga harus cepat tanggap terhadap hal tersebut sehungga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah meninggkat agar akhirnya tercipta nasionalisme.
Menanamkan dan mangamalkan nilai-nilai pancasila dengan sebaik-baiknya.Pancasila adalah ideologi bangsa kita. Pancasila juga merupakan dasar negara Indonesia ,jiwa kepribadian, perjanjian luhur, tujuan dan cita-cita bahkan pancasila pun adalah moral pembangunan negara kita. Siapa lagi kalau bukan kita yang menjaga dan memelihara nilai-nilai pancasila. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan semestinya. Di dalam ajaran agama terkandung nilai-nilai persatuan dan kesatuan, dengan mengamalkan ajaran agama berarti kita telah menjunjung tinggi nasionalisme. Akan tetapi, toleransi antar umat beragama pun harus terus dijaga. Karena kerap kali terjadi pertikaian yang melibatkan kelompok agama yang berbeda. Jika pertikaian itu terus berlanjut stabilitas nasional akan terganggu. (dikutip: Hans Kohn)
Mewujudkan supremasi hukum dan menegakkan hukum dengan sebaik-baiknya. Menegakkan hukum dengan adil tanpa membedakan status sosial seseorang memang berat, namun jika hal itu dilakukan maka akan menambah kepercayaan masyarakat terhadap hukum di negara kita. Secara tidak langsung akan mempunyai dampak positif terhadap nasionalisme kita. Selektif terhadap pengaruh globlalisai baik bidang politik, ideologi, ekonomi maupun sosial budaya. Karena globlalisasi mempunyai pengaruh postif dan negatif maka kita harus memilah-milah mana yang baik yang mesti diambil dan mana yang buruk yang harusnya dibuang jauh-jauh.
Memilik pernyataan yang sebelumnya yang menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme hasil bentukan karena adanya imperialisme dan kolonialisme belanda yang mana punya kelemahan internal yang sangat serius yaitu bila imperialisme dan kolonialisme sudah tidak ada lagi maka nasionalisme pun akan pudar. Melihat hal ini ada sebuah solusi yang dapat digunakan sebagai berikut:
1. ada beberapa hal bisa dijadikan sebagai stimulus baru untuk membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia. Misalnya keberhasilan para pelajar kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi, atau Matematika di tingkat regional maupun internasional, keberhasilan atlit kita Crish John menjadi juara dunia dan prestasi menteri kita Dr. Srimulyani sebagai menteri terbaik di Asia. Sebaliknya pengalaman dilecehkan bangsa lain sebagai bangsa yang korup, sarang teroris atau bangsa pengekspor asap terbesar seharusnya menjadi pemicu untuk bisa tampil sebagai bangsa yang lebih baik dan terpandang.
2. Negara Indonesia sangat plural, maka negara harus mengakui, menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup mereka. Masyarakat akan lebih memilih menjadi anggota kelompok etnis atau agama daripada menjadi anggota sebuah negara jika negara gagal menjamin hak hidup dan kebebasan beragama termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan di hadapan hukum, hak mendapat pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memeperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak , dan sebagainya.
3. Nasionalisme kita harus bersifat liberal. Nasionalisme dapat bersifat sosialis atau komunis. Dalam nasionalisme tersebut hak individu akan kebebasan , otonomi dan kesetaraan dalam masyarakat tidak diaukui dan dirampas oleh sistem pemerintahannya. Tentu saja nasionalisme ini tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia. Sementara nasionalisme etnis hanya menghasilkan sistem pemerintahan etnosentrisme yang anti pluralisme , anti hak-hak liberal dan demokratis warga negara. Nasionalisme etnis juga melahirkan politik kediktatoran dimana hak-hak kaum minoritas dibelenggu oleh kaum mayoritas. Nasionalisme ini juga tidak cocok untuk negara kita Indonesia. Dengan nasionalisme yang bersifat liberal maka hak-hak individu waraga negara diakui, dihormati dan dijamin. Hukum pun bisa ditegakkan dengan adil. Maka kemungkinan besar kesejahteraan pun akan meningkat.
Akhirnya ini hanyalah suatu pendapat pribadi saya baik mengenai pengertian nasionalisme, kemunduran nasionalisme Indonesia, cara-cara menanganinya,dan lainnya. Selanjutnya terserah anda sebagai pembaca untuk menanggapinya. Akan tetapi tugas kita semualah yang harus mejaga dan memelihara nasionalisme kita. Jika bukan kita lalu siapa lagi yang akan menjaga dan menyelamtkan bangsa dan negara Indonesia kita tercinta ini.
Tekad yang lebih tegas dan meling¬kupi lingkungan yang lebih luas baru terwujud dua puluh tahun kemudian dalam bentuk Sumpah Pemuda. Puncak dari tekad tersebut tercapai dalam peristiwa Proklamasi Kemer¬de¬kaan yang selanjutnya diikuti oleh per¬juangan, baik secara fisik maupun dip¬lomatik. Semua itu dimaksudkan un¬tuk memupuk dan menyuburkan ra¬sa kebangsaan (nasionalisme) In¬donesia. Namun ironisnya, belakangan ini bangsa kita justru mengalami fenomena kemerosotan rasa kebangsaan. Nasio¬nalisme yang selama ini menjadi kebanggaan kita karena mampu mempersatukan sebuah wilayah yang amat luas, dari Sabang sampai Merauke, tampaknya mulai menun¬jukkan kegagalan memelihara persa¬tuan tersebut. Gejolak separatisme mun¬cul di sejumlah tempat, seperti di Aceh, Papua, Riau, Maluku, dan lain-lain.
Munculnya gerakan separatis menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan bangsa dan wilayah kita. Kesalahan ini cukup mendasar sehingga tidak cukup dihadapi dengan protes atau kritik. Salah satu kesalahan besar yang telah kita lakukan selama ini adalah membiarkan moralitas bangsa terus-menerus merosot sampai akhirnya berada dalam tingkat paling rendah.
Di tahun 1950-an, bangsa kita sempat diingatkan dan diperingatkan secara telak adanya bahaya yang bernama degradasi moral. Peringatan itu muncul akibat adanya praktik yang saat itu banyak dilakukan oleh para pegawai negeri yang dikenal sebagai praktik catut. Maksudnya, pegawai pemerintah menggunakan jabatan, kedudukan dan wewenangnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi walaupun dengan risiko merugikan negara dan masyarakat. Sejumlah kabinet terpaksa rontok akibat gagal membersihkan diri dari krisis akhlak. Dengan merosotnya moral dan mental kejuangan bangsa, nasionalisme mulai kehilangan maknanya dan akhirnya hanya bergerak di tingkat angan-angan dan wacana, tapi jauh dari aksionalitas . Bisa dimengerti apabila kemudian muncul keinginan sejumlah daerah untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat.
Dalam negara demikian ini bisa dimengerti apabila nasionalisme hanyalah sebuah jargon indah yang sebenarnya ‘kopong’ (kosong melom¬pong). Masalahnya, nasionalisme yang tampak ke permukaan bukan nasio¬nalisme yang kita dengar dan pelajari, tapi nasionalisme yang sangat sempit, yang biasa dikemas menjadi kon¬coisme dan nepotisme.
• Berkembangnya KKN
Fenomena seperti itu makin merebak di era Orde Baru. Nepo¬tisme bukan saja membuka peluang tapi juga memerlukan praktik lain yaang bernama korupsi dan kolusi. Di sinilah letak persoalannya mengapa kemudian dalam masyarakat kita berkembang apa yang dinamakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). KKN bukan lagi dianggap sebuah momok, tapi justru dikembangkan demi kepentingan pengelolaan negara yang paling menentukan.
Ironisnya, reformasi yang kita gelar ternyata tidak mampu mengubah keadaan dan mengembalikan kebe¬saran jiwa kita yang telah lama hilang. Konsekuensinya, nasionalisme kita tetap rawan, bahkan makin kerdil, karena negara kita makin kecil adanya. Tidak tertutup kemungkinan, dalam hati masing-masing kita sudah terbiasa meneriakkan semboyan L’etat cest moi. Negara, juga bangsa, adalah aku. Kepentingan bangsa adalah, dalam wujud nyatanya, kepentinganku. Sangat memprihatinkan memang! Mengingat semua itu, perta-nyaan¬nya, sesudah hampir seabad kebang-kitan nasional, masihkah tertanam semangat nasionalisme di kalangan warga bangsa Indonesia? Yang pasti, seperti ditegaskan oleh para pen¬dirinya, negara yang ibarat mutiara di khatulistiwa ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ditegakkan berdasarkan prinsip negara hukum.
Pengelolaan negara berdasarkan hukum, bukan kekuasaan. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ini sesungguhnya telah dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia sebagaimana secara historis dinyatakan dalam bagian Penjelasan UUD 1945. Di situ secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, bangsa Indonesia memang pernah terjebak dalam suatu periode suram, di mana kekuasaan ditegakkan bukan berdasarkan hukum. Kekuas¬aan adalah hukum itu sendiri. Aki¬batnya, kekuasaan cenderung otoriter dan dan represif. Akhirnya, gerakan reformasi menumbangkan kekuasaan yang otoriter dan mulailah era baru mengembalikan kekuasaan berda¬sarkan hukum.
Tuntutan rakyat dalam gerakan reformasi untuk terwujudnya good governance dengan penye¬lenggaraan pemerintahan yang bersih dan anti-KKN, belum terealisasi seperti yang menjadi dambaan. Me¬mang, pengusutan terhadap pelaku praktik KKN terus dilakukan dan tidak pandang bulu. Banyak pejabat negara, menteri, gubernur, bupati, bahkan anggota DPR serta kong¬lomerat yang diusut dan dipenjarakan. Namun, temuan dugaan penyim¬pangan keuangan negara tak kunjung berkurang. Badan Pemeriksa Ke¬uangan dan Pembangunan (BPKP) baru-baru ini menyatakan bahwa mereka berhasil mengungkap kasus korupsi sejak tahun 2002 sampai sekarang yang dikatakannya berjumlah Rp9,858 triliun, dan dalam bentuk valas sebesar US $1,066 miliar, FrF0,245 juta, dan RM5,328 juta. Negara kita tetap menempati posisi sebagai ‘juara korupsi’ di tingkat dunia sampai sekarang. Suatu ‘prestasi’ yang sangat memalukan, tentunya!
Jika pemerintah gagal membe¬rantas KKN, upaya menyejahterakan rakyat pun bakal terhambat, rakyat akan makin menderita. Upaya mem¬berantas praktik KKN memerlukan keteguhan dan keberanian mene¬gakkan hukum. Di sinilah pentingnya penegakkan hukum secara konsisten. Itu juga kerinduan masyarakat se¬karang. Membicarakan soal penegakkan hukum tak mungkin terlepas dari orang-orang yang melaksanakannya, yakni aparat penegak hukum. Sebab penegakkan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan.
Dapat dikatakan secara ekstrim, peraturan-peraturan adalah benda mati dan akan tetap mati kalau tak dijalankan oleh manusia. Bahkan kalau suatu peraturan cuma dibaca kemudian tergeletak begitu saja di atas meja, maka dapat dikatakan peraturan tersebut tak efektif bahkan mati.Gunnar Myrdal (pemenang nobel bidang ekonomi yang terkenal dengan tulisan ‘Asian Drama’-nya) Gunnar Myrdal menyatakan bahwa “... semua negara berkembang sekalipun dalam kadar yang berlainan adalah ‘negara-negara yang lembek’. Manifestasi dari ‘lembek’ tersebut adalah cacat-cacat dalam perundang-undangan dan terutama dalam hal menjalankan dan menegakkan hukum.”
Masih adanya gejala penyakit ‘lemah mental’ yang menghinggapi penegak hukum merupakan penyakit yang mesti diberantas terlebih dulu. Pada masa-masa lalu kebijakan pemerintah menaikkan tunjangan bagi para penegak hukum seakan menjadi kunci untuk menekan tindakan korup di lingkungan penegak hukum. Sayang, karena yang mesti diperbaiki tak cukup cuma masalah perut, maka kebijakan itu kurang efektif.
Sebagai ilustrasi, materi persi¬dangan kasus korupsi mantan Dirut Jamsostek Ahmad Junaedi sebetulnya merupakan kasus korupsi seperti kebanyakan kasus-kasus korupsi yang lain. Tapi, terjadinya luapan kema¬rahan terdakwa terhadap jaksa penun¬tut umum menyebabkan proses pene¬gakkan hukum terhadap terdakwa menjadi (lebih) menarik perhatian. Achmad yang divonis 8 tahun menu¬ding jaksa telah menerima Rp600 juta. Jaksa Agung waktu itu dengan nada terlihat sedikit emosi menyatakan, ‘Ahmad Junaedi bukan pahlawan hanya karena dia mengungkap upaya penyuapan terhadap jaksa penuntut umum. Yang ada adalah seorang penyuap yang kecewa karena gagal memperoleh apa yang diinginkan.’
Dalam prinsip ekonomi, kita semua memahami adanya kebutuhan konsumen akan menyebabkan banyak penawaran atas barang atau jasa yang dibutuhkan tersebut. Ternyata prinsip ini berlaku pula dalam dunia pene¬gakkan hukum. Kita semua masih dapat mengingat secara jelas sebuah kasus suap yang ujung-ujungnya justru memicu perselisihan antara Komisi Yudisial dan Ketua Mahkamah Agung (MA). Yakni dimulai adanya pe¬nangkapan pengacara Probosutedjo yang diduga melakukan suap terhadap Ketua MA. Dari dua kasus di atas, benar seperti apa yang dikatakan Jaksa Agung, Ahmad Junaedi bukan pah¬lawan. Tentu saja sama pula dengan Probo bahwa ia juga bukan pahlawan, kendati telah mengungkap kasus suap. Meski dalam kisah yang berbeda, namun ada benang merah di antara keduanya. Baik Probo maupun Ah¬mad merupakan orang yang sedang butuh aman dari jangkauan hukum.
Fenomena saling membutuhkan ini juga tampak terjadi pada kasus kaburnya terpidana kasus korupsi Nadel Thaher di tengah berjalannya proses kasasi di MA. Begitu pula kaburnya Gayus Tambunan dan Gunawan Santoso dari LP Cipinang. Padahal selama ini tercipta kesan LP Cipinang merupakan LP dengan pengamanan terkuat. Ternyata keko¬kohan suatu benteng sekalipun tidak ada artinya kalau pelaksana mengidap gejala penyakit ‘lemah mental’.
Tapi, tentu saja kesalahan tak semuanya harus mengarah pada petugas di lapangan. Sebab, mun¬culnya gejala penyakit ‘lemah mental’ tak cuma dapat muncul secara pribadi, melainkan juga akibat adanya teladan dari para atasan, maupun gejala massal di lingkungan kerja.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tindakan tegas untuk menegakkan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 yang menghendaki agar Indonesia dijadikan sebagai negara bagi semua golongan ini penting untuk diambil pemerintah agar komitmen kita dalam berbangsa yang didirikan di atas empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) tetap terjaga. Jika tidak, pembiaran terhadap gerakan NII maupun gerakan separatis lainnya bukan tidak mungkin akan mengarah pada disintegrasi bahkan menjadikan Indonesia sebagai negara yang gagal.
3.2 Saran
Makalah ini tidak akan sempurna tanpa ada saran-saran dari para pembaca karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Saran dan pesan kami tunggu untuk lebih menyempurnakan makalah yang kami buat tanpa adanya saran kita tidak dapat menyempurnakan makalah ini.
Atas sarannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
• Mahendra.1999
• Marvin Harris 1976
• Written by swip
• Try Meky Nelson
• Hak asasi manusia, negara kesatuan RI dan alat politik oleh Hendardi
• Sumber Reformed Center for Religion Society
• http://id.wikipedia.org
• http://www.reformata.com
• http://www.antaranews.com
• Kompas.com 10/03/10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar